Selamat datang di blog saya, kalau anda ingin sukses berbisnis secara Islami silahkan baca artikel-artikel dibawah ini, semoga bermanfaat....

Jumat, 22 Mei 2009

Dibalik Sifat - Sifat Allah Sayyidina Ali K.W

Sayyidina Ali K.W
1. (Allah) Yang sifat-Nya tidak terbatasi oleh batasan tertentu, tidak dapat tergambarkan oleh ungkapan kata, tidak terikat oleh waktu, dan tidak ada waktu yang menyudahi-Nya. Dan kesempurnaan keikhlasan kepada-Nya adalah dengan menafikan segala sifat dariNya. Sebab, setiap, sifat adalah berlainan dengan yang disifati, dan setiap yang disifati bukanlah persarnaan dari sifat yang menyertainya. Maka, barangsiapa yang melekatkan suatu sifat kepada-Nya, berarti dia telah menyertakan sesuatu dengan-Nya.
2. Dialah Allah Yang Benar lagi Yang Merjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya), Yang lebih benar dan lebihj elas daripada yang dilihat oleh mata. Dia tidak dapat dicapai oleh akal dengan pernbatasan, maka, tiadalah Dia dapat disamakan (dengan sesuatu). Tidak pula Dia ditimpa oleh waham. dengan perkiraan, maka Dia tidak dapat diserupakan. Tidak ada dalam keawalan-Nya permulaan, dan tidak ada dalam keazalian-Nya kesudahan (kesirnaan). Dialah Yang Awal dan senantiasa Awal (tidak berubah keadaan-Nya), dan Dia Mahakekal tanpa ada batas waktu (kematian). Dahi-dahi bersuJud kepada-Nya dan bibir-bibir pun mentauhidkan-Nya. Dia membatasi segala sesuatu saat penciptaannya, yang menjadi penjelas bagi kesamaannya.
3. Dia (Allah) tidak akan dapat dicapai oleh penglihatan mata, tetapi hati yang penuh dengan hakikat, keirnanan sajalah yang dapat mencapai-Nya. Dia Dekat dari segala hal tanpa sentuhan. Jauh tanpa adajarak. Berpikir tanpa perlu berpikir sebelumnya. Berkehendak tanpa keinginan. Berbuat tanpa mernerlukan tangan. Lembut namun tidak tersembunyi. Besar namun tidak kasar. Maha Melihat namun tidak bersifat inderawi. Dan Maha Penyayang namun tidak bersifat lunak.
4. Ya Allah, Engkaulah Pemilik sifat yang bagus dan penghitungan yang banyak. jika Engkau diharapkan, maka Engkau adalah sebaik-baik yang diharapkan. Dan jika Engkau dimintai (suatu pennohonan), maka Engkau adalah sebaik-baik yang dimintai.
5. Mahasuci Allah yang tidak dapat dicapai oleh angan-angan yang jauh, dan tidak dapat pula diraih oleh dugaan orang yang tajam pikirannya. Dialah Yang Awal yang tidak ada batas akhir bagi-Nya; dan tidak ada akhir bagi-Nya, maka Dia tidak akan sirna.
6. Dia (Allah) tidak pernah dilalui oleh masa, maka keadaan-Nya tidak pernah berbecla. Tidak pula Dia berada dalam suatu tempat yang menghar-uskan-Nya berpindah tempat. Dia Maha Mengetahui (segala) rahasia yang ada di dalarn hati yang tersembunyi, bisikan orang~ orang yang berbisik-bisik, dan kecenderungan seseorang dalarn hatinya.
7. Sesungguhnya Allah SWT tidak tersembunyi bagi-Nya apa yang diperbuat oleh hamba-hamba-Nya pada waktu malam mereka dan siang hari mereka. Dia Mahalembut lagi Maha Mengetahui dan Dia benar-benar meliputi segala sesuatu. Anggota-anggota tubuhmu adalah saksi-saksi-Nya dan tentara-tentara-Nya, hati kalian adalah mata-Nya, dan kesendirian kalian adalah pandangan-Nya.
8. Segala puj i bagi Allah Yang Awal, yang tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya; Yang Akhir, yang tidak sesuatu pun setelah-Nya; Yang Dzahir, yang tidak ada sesuatu pun di atasnya; dan Yang Batin, yang tidak ada sesuatu pun di bawah-Nya. Ilmu-Nya menembus segala tirai batin kegaiban dan Meliputi segala kesamaran rahasia.

Introspeksi Sayyidina Ali K.W

1. Barangsiapa yang mengintrospeksi dirinya, maka dia telah beruntung dan barangsiapa yang lalai akan dirinya, maka dia telah merugi. Barangsiapa yang takut (akan siksa Allah), maka. dia akan aman (dari siksa-Nya). Barangsiapa yang mau mengambil pelajaran, maka dia akan terbuka pandangannya. Barangsiapa yang telah terbuka pandangannya, maka dia akan memahami. Dan barangsiapa yang telah memahami, maka dia akan mengetahui.
2. Semoga Allah merahmati seorang hamba yang takut kepada Tuhannya, menasihati dirinya, menyegerakan tobatnya, dan mengalahkan hawa nafsunya. Sebab, sesungguhnya ajalnya tersembunyi darinya, angan-angannya menipunya, sedangkan syetan menyertainya (berupaya menyesatkannya).
3. Sebaik-baik kehidupan adalah yang tidak menguasaimu dan tidak pula mengalihkan perhatianmu (dari mengingat Allah Ta’ala).
4. Ingatlah kalian akan berakhirnya segala kesenangan dan yang tersisa adalah pertanggungjawaban.
5. Amal-amal hamba terjadi dalam dunia ini, seimbang dengan perhitungannya kelak di akhirat.
6. Lihatlah wajahmu setiap waktu di cermin. jika wajahmu itu bagus, anggaplah ia buruk karena engkau menambahkannya dengan perbuatan. yang buruk, yang dengannya engkau telah memberi noda padanya. Dan jika (engkau dapati bahwa) wajahmu itu buruk, anggaplah. ia memang buruk karena engkau telah menggabungkan dua keburukan (buruk rupa dan amal).
1. Didiklah dirimu dengan apa yang engkau tidak suka pada orang lain.
2. Ketika seseorang mencela terhadap dirinya sendiri secara terang-terangan adalah diam-diam ia memuji dirinya.
3. Tidaklah kemaluanmu akan berzina jika engkau memejamkan pandanganmu.
4. Syetan setiap orang adalah (sepadan dengan keadaan) dirinya sendiri.

Renungan dibalik Makna Shalat

Sayyidina Ali K.W
1. Perbedaan antara seorang Mukmin dan kafir adalah shalat. Barang- siapa yang meninggalkannya, lalu dia mengaku sebagai Mukmin, maka perbuatannya itu telah mendustakannya, dan dirinya pun menjadi saksi akan hal itu.
2. Lakukanlah shalat subuh ketika hari masih gelap, niscaya (kelak) engkau akan bertemu dengan Allah Ta’ala dengan wajah yang putih.
3. Jagalah urusan shalat, peliharah ia, perbanyaklah mengerjakannya, dan dekatkanlah dirimu (kepada Allah) dengan sholat itu. Sebab, sesungguhnya shalat adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang yang beriman (QS 4:103). Apakah kalian tidak mendengarkan jawaban para penghuni neraka ketika mereka ditanya, 'Apakah yang memasukkan kamu kedalam Saqar(neraka)?" Merekan menjawab, "Kami dahulu tidak termasuk orang~orang yang mengerjakan shalat " (QS 74:42-43).
4. Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. ketika beliau mengutusku ke Yaman, "Bagaimana aku harus mengimani mereka shalat (berjamaah)?" Maka, beliau menjawab, "Imamilah mereka shalat (berjamaah) seperti shalatnya orang yang paling lemah di antara mereka, dan jadilah orang yang amat penyayang terhadap orang-orang yang beriman."
5. Barangsiapa yang tidak mengambil persiapan shalat sebelum tiba waktunya, maka dia tidak menghormati shalat.

Do'a

Allah swt. berfirman:
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan dalam kerahasiaan.” (Q.s. A-A’raf. 55).
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. “(Q.s. Al-Mu’min: 60).

Rasulullah saw telah bersabda:
“Doa adalah inti ibadat.” (H.r. Tirmidzi, dari Anas bin Malik).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Doa adalah kunci bagi setiap kebutuhan. Doa adalah tempat beristirahat bagi mereka yang membutuhkan, tempat berteduh bagi yang terhimpit, kelegaan bagi perindu.”
Allah swt. menghinakan orang yang meninggalkan doa, dengan firman-Nya:
“Mereka menggenggamkan tangannya.” (Q.s. At Taubah: 67).
Ditafsirkan bahwa ayat ini bermakna, “Mereka tidak mengangkat tangan mereka dengan terbuka untuk berdoa kepada Kami.”

Sahl bin Abdullah menuturkan, “Allah swt. menciptakan makhluk dan berfirman, ‘Percayakanlah rahasia-rahasiamu kepada-Ku. Kalau tidak, maka melihatlah kepada-Ku. Kalau tidak, maka dengarkanlah Aku. Kalau tidak, maka menunggulah di depan pintu-Ku. Jika tak satu pun dari ini semua yang engkau lakukan, katakanlah kepada-Ku apa kebutuhan-Mu’.”

Sahl juga berkata, “Doa yang paling dekat untuk dikabulkan adalah doa seketika,” yang maksudnya adalah doa yang terpaksa dipanjatkan oleh seseorang dikarenakan kebutuhannya yang mendesak terhadap apa yang didoakannya.

Abu Abdullah al-Makanisy berkata, “Aku sedang bersama al Junayd ketika seorang wanita datang dan meminta kepadanya, `Berdoalah untukku agar Allah mengembalikan anakku kepadaku, karena dia telah hilang.”al-Junayd mengatakan kepadanya, `Pergilah, dan bersabarlah.’ Kemudian wanita itu berlalu, kemudian kembali lagi meminta al-Junayd agar berdoa lagi. al-Junayd menjawab, `Pergilah dan bersabarlah.’ Hal ini berlangsung berkali-kali, dan setiap kali al-Junayd mengatakan agar wanita itu bersabar. Akhirnya wanita itu berkata,
`Kesabaranku telah habis. Sudah tidak ada lagi sisa kesabaranku.’ Al-Junayd menjawab, `Jika demikian halnya, pulanglah sekarang, sebab anakmu telah kembali.’ Wanita itu pun pulang, dan menemukan anaknya.

Dia kembali kepada al-Junayd untuk mengucapkan terima kasih. Seseorang, bertanya kepada
al-Junayd, `Bagaimana engkau bisa tahu?’ Dia menjawab,
Allah swt. telah berfirman:
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila
ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan.’ (Q.s. An-Naml: 62).”

Orang berbeda pendapat mengenai mana yang lebih baik Berdoa ataukah berdiam diri dan bersikap ridha. Di antara mereka ada sebagian yang berkata, “Doa itu sendiri adalah ibadat, sebab Nabi saw telah bersabda, ‘Doa adalah otak ibadat.’ Adalah lebih balk melaksanakan apa pun yang merupakan amal ibadat daripada melewatkannya. Disamping itu, berdoa adalah hak Tuhan atas manusia. Kalaupun Dia tidak mengabulkan doa si hamba dan si hamba tidak memperoleh manfaat dengan doanya, namun sang hamba telah melaksanakan hak Tuhannya, sebab doa adalah ungkapan lahiriah kebutuhan penghambaan.”

Abu Hazim al-A’raj berkata, “Dihalangi berdoa adalah lebih menyedihkan hatiku daripada terhalangi untuk tidak dikabulkan.” Ada orang lain yang menegaskan , “Diam dan tidak berbuat apa-apa dalam menjalani ketetapan Tuhan adalah lebih sempurna daripada berdoa.

Bersikap ridha atas apa pun yang dipilih Allah untuk kita adalah lebih utama. Sehubungan dengan alasan ini, al Wasithy mengatakan, “Memilih apa yang telah ditetapkan bagimu dalam zaman azali adalah lebih balk bagimu daripada menentang keadaan yang ada sekarang.” Nabi saw bersabda, ‘Allah swt. berfirman dalam hadis Qudsi, Aku memberi kepada orang yang terlalu sibuk mengingat-Ku hingga tak sempat berdoa, lebih banyak daripada yang Kuberikan kepada mereka yang berdoa.”

Ada kelompok kaum yang berkata, “Si hamba harus berdoa dengan lidahnya, sementara pada saat yang sama dia juga bersikap ridha, dan dengan demikian menggabungkan keduanya itu.”
Pendapat yang lebih utama dalam hal ini adalah mengatakan bahwa waktu dan situasi itu berbeda-beda. Dalam situasi tertentu, doa adalah lebih baik daripada diam, yaitu sebagai perilaku adab seorang hamba. Sementara dalam keadaan lain, berdiam diri adalah lebih baik daripada doa, yaitu sebagai alasan adab pula.

Ini hanya bisa diketahui dalam waktu, karena pengetahuan mengenai waktu, jika seseorang mendapati hatinya condong untuk berdoa, maka berdoa adalah paling baik. Jika dia mendapati hatinya condong kepada berdiam diri, maka berdiam diri lebih baik.

Benar juga dikatakan bahwa tidaklah patut bagi si hamba untuk tidak mengabaikan penyaksian terhadap TuhannyaYang Maha Luhur ketika berdoa. Dia juga harus memberikan perhatian cermat kepada keadaan dirinya. Jika dia mengalami kelapangan yang meningkat dalam keadaan berdoanya, maka berdoa adalah paling baik baginya. Jika dia mengalami semacam kendala dan hatinya merasa sempit ketika berdoa, maka yang paling baik baginya adalah meninggalkan berdoa pada saat itu.

Jika dia tidak mengalami yang manapun dari kedua hal ini, maka terus berdoa ataupun meninggalkannya adalah sama saja baiknya. Jika kepeduliannya yang utama adalah pada keadaan ma’rifat dan berdiam diri, maka menghindari berdoa adalah lebih baik baginya. Dalam soal-soal yang menyangkut nasib kaum Muslimin atau yang berkaitan dengan kewajiban seseorang terhadap Allah, maka berdoa adalah lebih baik daripada tidak, tapi dalam perkara-perkara yang menyangkut kebutuhan diri sendiri, maka berdiam diri adalah lebih baik.

Dalam sebuah hadist disebutkan, ‘Apabila seorang hamba yang dicintai Allah berdoa, maka Allah berfirman, ‘Wahai Jibril, tundalah memenuhi kebutuhan hamba-Ku itu, karena Aku senang mendengarkan suaranya.’ Apabila seseorang yang tidak disukai Allah berdoa, Dia berfirman, ‘Wahai Jibril, penuhilah kebutuhan hamba-Ku itu, karena Aku tak suka mendengar suaranya’.”

Diceritakan bahwa Yahya bin Sa’id al-Qaththan bermimpi melihat Allah swt. dan ia berkata, “Wahai Tuhanku, betapa banyak kami telah berdoa kepadamu, tapi Engkau tidak mengabulkan doa kami!” Dia menjawab, “Wahai Yahya, itu karena Aku senang mendengarkan suaramu.”

Nabi saw menjelaskan:
“Demi Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya, apabila seseorang yang dimurkai Allah berdoa, Dia akan menolaknya. Lalu orang itu berdoa lagi, akhirnya Allah swt. berfirman kepada para malaikat-Nya, ‘Hamba-Ku menolak untuk berdoa kepada selain pada Ku, makaAku pun mengabulkan doanya’.” (H.r. Ali r.a, dan dikeluarkan oleh al-Hakim).

Al-Hasan meriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. yang menuturkan, “Pada masa Nabi saw, ada seorang laki-laki yang berdagang antara Syam dan Madinah serta dari Madinah ke Syam. Dia biasa bepergian, tanpa bergabung dengan kafilah-kafilah demi tawakkal kepada Allah swt. Sekali waktu, ketika dia bepergian dari Syam ke Madinah, seorang penyamun mencegatnya dan berkata kepadanya, `Berhenti!’ Pedagang itu pun berhenti dan berkata kepada si penyamun, Ambillah barang-barangku tapi janganlah kau rintangi jalanku!’ Si penyamun menjawab, `Urusan harta bukan urusanku, tapi dirimulah yang kukehendaki.’ Maka pedagang itu menjawab, Apa yang kau kehendaki dariku, bukankah urusanmu itu hartaku? Ambillah barang-barang itu dan enyahlah!’ Si penyamun mengulangi apa yang telah dikatakannya. Si pedagang berkata, `Tunggulah sampai aku berwudhu dan berdoa kepada Tuhanku.’ Maka si pedagang pun bangkit, berwudhu, lalu shalat empat rakaat. Setelah itu dia mengangkat tangannya ke langit dan berdoa, `Wahai Yang Maha Penyayang, wahai Yang Maha Penyayang, wahai Pemilik Arasy yang Agung, wahai Yang dari-Nya segala sesuatu berasal dan kepada-Nya segala sesuatu kembali, wahai Yang Maha melakukan apa yang dikehendaki-Nya, aku memohon kepada-Mu dengan cahaya Wajah-Mu yang memenuhi segenap penjuru `Arasy-Mu, aku memohon kepada-Mu dengan kekuasaan yang dengannya Engkau memerintah makhluk-Mu, dan dengan kasih sayang-Mu, tidak ada Tuhan selain Engkau, wahai Maha Penolong, tolonglah aku!’

Diucapkannya doa itu tiga kali. Ketika dia selesai berdoa, tiba-tiba muncullah seorang penunggang kuda yang berwarna abu-abu dan berpakaian hijau dengan memegang tombak yang terbuat dari cahaya. Ketika si penyamun melihat pengendara kuda itu, ditinggalkannya si pedagang dan disongsongnya si pengendara kuda itu.
Ketika sudah dekat,
si penunggang kuda itu menyerang si penyamun sehingga si penyamun terlempar dari atas kudanya. Kemudian penunggang kuda mendatangi
si pedagang dan memerinahkan, bunuhlah dia!’ Namun
si pedagang itu balik berkata, `Siapa Anda? Aku tak pernah membunuh seseorang, dan diriku tak layak membunuhnya.’

Lalu penunggang kuda itu menuju si penyamun langsung membunuhnya. Kemudian datang pada si pedagang, sambil memberitahu, itu adalah seorang malaikat dari langit ketiga. Ketika engkau berdoa Untuk pertama kalinya, kami mendengar bunyi gaduh di pintu gerbang langit. Kami berkata, `Sebuah kejahatan telah terjadi.’ Ketika engkau berdoa’untuk kedua kalinya, pintu langit terbuka dan terlihat seberkas nyala api. Ketika engkau berdoa untuk ketiga kalinya, Jibril as. turun ke langit kami dan berteriak, `Siapakah yang mau menolong orang yang tertekan itu? Aku memohon kepada Allah swt. agar diizinkan membunuh penyamun itu. Ketahuilah, wahai hamba Allah, bahwa Allah akan memberikan kelapangan dan pertolongan kepada siapa saja yang berdoa dengan doamu tadi pada setiap saat yang penuh tekanan, malapetaka dan keputus-asaan.’

Setelah itu si pedagang melanjutkan perjalanannya dengan aman sampai ke Madinah dan pergi menemui Nabi saw serta menceritakan kisahnya kepada beliau, juga tentang doa yang diucapkannya. Nabi saw bersabda kepadanya, Allah telah mengilhamimu dengan Nama-nama-Nya yang paling indah, yang jika disebutkan dalam doa, niscaya
Dia akan mengabulkannya. Jika Dia dimohon dengan Nama-nama itu, Dia akan menganugerahkannya’.”
Di antara etika berdoa adalah adanya kehadiran hati. Berdoa tak boleh dilakukan dengan hati yang lalai. Diriwayatkan bahwa Nabi saw telah bersabda:
”Sesungguhnya Allah swt. tidak akan menjawab doa seorang hamba yang hatinya alpa.” (H.r. Tirmidzi dan Ahmad). Persyaratan lain adalah bahwa makanan si hamba haruslah diperoleh secara halal. Nabi saw menegaskan: “Perbaikilah kerjamu, niscaya doamu dikabulkan. “
(H.r. Thabrani).

Dikatakan, “Doa adalah kunci bagi kebutuhan seseorang, dan gerigi kunci tersebut adalah makanan yang halal.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Tuhanku, aku seorang pendosa; bagaimana aku bisa berdoa kepada-Mu? Bagaimana aku tidak akan berdoa kepada-Mu, sedang Engkau Maha Pemurah?”
Diceritakan bahwa Musa as. berjalan melewati seorang laki-lak:i yang sedang berdoa dengan rendah hati kepada Allah. Musa berkata, “Ya Allah, seandainya kebutuhannya ada dalam tanganku, niscaya akan
kupenuhi doanya.” Allah swt. mewahyukan kepada Musa, ‘Aku lebih pengasih kepadanya daripadamu. Dia memang berdoa kepada-Ku, tapi hatinya terpaut pada domba-dombanya. Sedang Aku tidak akan mengabulkan doa seorang hamba-Ku yang hatinya terpaut pada selain Aku.”Ketika Musa mengatakan kepada orang itu apa yang diwahyukan Allah swt. kepadanya itu, dia segera memalingkan hatinya dengan penuh perhatian kepada Allah swt, dan urusannya pun selesai.

Seseorang bertanya kepada Ja’far ash-Shadiq, “Apa sebabnya, kita berdoa tetapi tidak pernah dikabulkan?” Beliau menjawab, “Itu karena engkau berdoa kepada Tuhan yang engkau tak punya pengetahuan tentang-Nya.”

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan, “Ya’qub bin Layts ditimpa penyakit yang membuat para dokter tidak berdaya. Mereka lalu berkata kepadanya, `Di negeri tuan ada seorang laki-laki saleh bernama Sahl bin Abdullah. Jika dia berdoa untuk tuan, niscaya Allah swt. akan mengabulkan doanya.’ Ya’qub pun lalu mengundang Sahl dan memerintahkan, `Berdoalah kepada Allah untukku.’ Sahl berkata, `Bagaimana doaku untukmu akan dikabulkan, sedangkan engkau berlaku zalim kepada orang banyak di dalam penjaramu?’ Maka Ya’qub lalu melepaskan semua orang yang ada dalam penjaranya. Sahl lalu berdoa, `Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memperlihatkan kepadanya hinanya ketidakpatuhan kepada-Mu dengan menyembuhkan penyakitnya.’Ya’qub bin Layts lalu sembuh. Dia mencoba memberi Sahl harta kekayaan, tetapi Sahl menolak.

Seseorang berkata kepada Sahl, `Jika saja engkau mau menerimanya, engkau bisa memberikannya kepada orang miskin.’ Beberapa waktu kemudian, saat Sahl sedang memandangi kerikil-kerikil di padang pasir, kerikil-kerikil itu tiba-tiba berubah menjadi batu-batu permata. Dia bertanya kepada para sahabatnya, Apa perlunya bagi orang yang telah diberi anugerah seperti ini, menerima harta kekayaan dariYa’qub bin al-Layts’?”

Diceritakan bahwa Salih al-Marry sering menegaskan, “Barang siapa yang gigih mengetuk pintu, berarti sudah dekat saat terbukanya pintu itu baginya.” Rabi’ah Adawiyah bertanya kepadanya, “Sampai kapan engkau akan mengatakan begitu? Kapankah pintu itu tertutup hingga orang terpaksa memintanya agar dibuka?” Salih menjawab, “Seorang laki-laki yang sudah tua tak tahu akan kebenaran, dan seorang wanita mengetahuinya!”

As-Sary berkata, “Suatu ketika aku menghadiri pengajian Ma’ruf al-Karkhy. Seorang laki-laki datang kepadanya dan meminta, `Wahai Abu Mahfudz, berdoalah kepada Allah untukku, agar Dia mengembalikan kantongku. Kantong itu dicuri orang; isinya uang seribu dinar.’ Ma’ruf tetap diam. Untuk ketiga kalinya orang itu mengulangi permintaannya. Kemudian Ma’ruf menjawab, Apa yang harus kukatakan? Kukatakan, apa yang telah kuriwayatkan dari Nabi-nabi-Mu dan Wali-wali-Mu yang suci? ’ Kemudian Ma’ruf mengembalikan kepada-Nya. Tapi orang itu tetap mendesak, `Berdoalah kepada Allah untukku.’ Ma’ruf pun bedoa, `Ya Allah, pilihkanlah apa yang paling baik baginya’.”

Diriwayatkan bahwa al-Layts berkata, “Suatu ketika aku melihat Uqbah bin Nafi’ dan dia dalam keadaan buta. Kemudian aku bertemu dengan dia lagi, sedang matanya bisa melihat. Aku bertanya kepadanya , `Bagaimana penglihatanmu bisa pulih kembali?’ Dia menjawab, bahwa dalam mimpinya ada suara berseru, `Katakanlah, wahai Yang Maha Dekat, wahai Yang Maha Mengabulkan, wahai Yang Mendengarkan doaku, wahai Yang Maha Baik dalam kehendak-Nya,
kembalikanlah penglihatanku.’ Kuulangi doa ini dan Allah swt. lalu mengembalikan penglihatanku’.”

Syeikh Abu All ad-Daqqaq berkata, “Aku menderita sakit yang parah di mataku ketika untuk pertama kalinya aku kembali dari Marw ke Naisabur. Sudah agak lama aku tak bisa tidur. Suatu pagi aku tertidur lelap dan kudengar seseorang bertanya kepadaku, ‘Tidakkah Allah mencukupi bagi hamba-Nya?’ (Q.s. Az-Zumar: 36).
Aku terbangun dan kudapati penyakitku telah hilang dari mataku dan rasa sakitnya pun telah berhenti. Sesudah itu aku tak pernah lagi menderita sakit mata lagi.”

Diceritakan bahwa Muhammad bin Khuzaymah berkata, “Aku sedang berada di Iskandariyah ketika Ahmad bin Hanbal meninggal dunia. Aku betul-betul merasa sedih, hingga aku bermimpi bertemu dengan Ahmad bin Hanbal. Kulihat dia sedang melenggang. Aku bertanya, `Wahai Abu Abdullah, gerakan apa ini?’ Dia menjawab, `Ini adalah cara bergerak hamba-hamba di Rumah Kedamaian.’

Aku bertanya, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu?” Dia menjawab, `Dia telah mengampuniku, menempatkan sebuah mahkota di atas kepalaku, dan memberiku sepasang sandal emas untuk kupakai.
Allah berfirman kepadaku, ‘Wahai Ahmad, semua ini karena engkau telah menjaga al-Qur’an sebagai firman-Ku.’Kemudian Dia berfirman, ‘Wahai Ahmad, berdoalah kepada-Ku dengan kata-kata yang engkau terima dari Sufyan ats-Tsaury, yang dulu engkau ucapkan waktu engkau masih hidup.’ Maka aku pun berdoa, `Wahai Tuhan semesta, dengan kekuasan-Mu atas segala sesuatu, ampunilah segala dosaku dan janganlah Engkau tanyai aku tentang sesuatu pun.’

Kemudian Allah mempermaklumkan, ‘Wahai Ahmad, inilah surga. Masuklah!’ Lalu aku pun masuk’.”
Suatu hari, ada seorang pemuda yang memegang kain penutup Ka’bah dan berkata, “Tuhanku, tak ada seorang pun yang mesti didekati selain Engkau, tidak pula ada seorang perantara yang bisa disuap. Jika aku mematuhi-Mu, itu adalah karena limpahan rahmat-Mu, dan segala puji adalah bagi-Mu. Jika aku menentang-Mu, itu adalah karena kejahilan dan kesombonganku. Engkau punya argumentasi yang tak terbantah terhadap diriku melalui bukti-Mu terhadap diriku dan melalui ketiadaan argumentasiku terhadap-Mu, kecuali jika Engkau mengampuniku.”

Kemudian dia mendengar sebuah suara batin yang berseru, “Anak muda ini telah dibebaskan dari neraka.”
Dikatakan, “Manfaat doa adalah menampakkan kebutuhan di sisi-Nya. Jika doa tidak dilakukan, Allah swt. akan melakukan apa yang dikehendakiNya.”
Dikatakan juga, “Doa awam dilakukan dengan ucapan, doa kaum zahid dilakukan dengan tindakan, dan doa kaum ‘arifin dilakukan dengan ihwal hati.”
Juga dikatakan, “Doa terbaik adalah doa yang dikobarkan dengan kesedihan.”

Salah seorang Sufi menyatakan, “Jika engkau berdoa kepada Allah swt. agar dianugerahi sesuatu dan doamu dikabulkan maka berdoalah, siapa tahu saat itulah memang saat dikabulkannya doamu.”

Dikatakan, “Lidah kaum pemula terucap lewat doa, namun lidah mereka yang telah mencapai hakikat terbelenggu dalam kebisuan.” `
Ketika al-Wasithy diminta berdoa, dia menjawab, “Aku takut bahwa jika aku berdoa, Allah swt. akan berfirman kepadaku,
‘Jika engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang telah ditetapkan untukmu,’ berarti engkau meragukan Aku. Jika engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak ditetapkan bagimu, berarti engkau tidak memuji-Ku sebagaimana seharusnya. Namun jika engkau bersikap ridha terhadap keputusan-Ku, Aku akan memberikan anugerah lebih dari harapanmu’.”

Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Mubarak berkata, “Sudah limapuluh tahun aku tidak berdoa, dan aku tidak menginginkan orang lain berdoa untukku.”

Dikatakan, “Doa adalah tangga bagi orang-orang yang berdosa.”
Dikatakan juga, “Doa adalah saling bertukar pesan. Selama kedua pihak tetap bertukar demikian, semuanya akan baik.”
Dikatakan, “Orang-orang yang berdosa mengucapkan doa dengan air mata.”

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, “Jika seorang berdosa menangis, berarti dia telah membuka hubungan dengan Allah swt.” Tentang hal ini, para Sufi bersyair berikut:
Air mata pemuda mengungkapkan apa yang disembunyikan;
Nafasnya menjelaskan hati
yang menyembunyikan rahasia.

Salah seorang Sufi menyatakan, “Berdoa berarti meninggalkan dosa-dosa.”
Dikatakan, “Doa adalah cara seorang pencinta mengungkapkan kerinduaanya.”
Dikatakan, “Diizinkan berdoa, lebih baik dari anugerah.”
Al-Kattany menyatakan, “Allah swt. tidak menganugerahkan kaum beriman, untuk rnengungkapkan rasa bersalah, kecuali untuk membuka pintu kemaafan.”

Dikatakan juga, “Berdoa menyebabkan engkau hadir di hadirat Allah swt, sedang dikabulkannya doamu menjadikan engkau berpaling menjauh. Dan berdiri saja di pintu, lebih baik daripada pergi dengan membawa balasan.”
Dikatakan, “Doa berarti menghadap Allah swt. dengan ungkapan rasa malu.”
Dikatakan, “Satu prasyarat doa adalah bertumpu pada keputusan Allah swt. bersama ridha.”
Dikatakan pula, “Bagaimana engkau akan menunggu ijabah doa, sedang engkau menghalangi jalannya dengan melakukan dosa-dosa?”
Seseorang meminta kepada salah seorang Sufi agar didoakan: “Doa-kan aku.” Dijawab, “Engkau cukup dengan Allah swt. daripada unsur lain yang kau jadikan perantara antara dirimu dengan Diri-Nya.”

Abdurrahman bin Ahmad berkata, “Aku mendengar ayahku menceritakan bahwa seorang wanita datang kepada Taqy bin Mukhlad dan mengatakan kepadanya, `Orang-orang Byzantium telah menawan anakku. Aku tak punya apa-apa lagi di rumahku selain anakku itu. Aku juga tidak bisa menjual rumahku. Jika saja tuan bisa membawa saya kepada seseorang yang bisa menebusnya, sebab saya sudah tak tahu lagi mana siang mana malam. Saya tidak bisa tidur ataupun beristirahat.’ Taqy berkata kepadanya, `Baiklah, pergilah sampai aku melihat masalah ini, Insya Allah.’ Kemudian syeikh itu menundukkan kepalanya dan menggerak-gerakkan bibirnya. Kami menunggu beberapa saat lamanya. Kemudian wanita itu datang lagi bersama anaknya dan berseru kepada syeikh tersebut, Anakku telah kembali dengan selamat, dan dia punya cerita untuk tuan.’

Anaknya itu lalu mengisahkan, `Saya sedang berada dalam tawanan seorang pangeran Byzantium bersama dengan sekelompok tawanan. Sang panrgeran menugaskan seseorang untuk menyuruh kami bekerja setiap hari. Orang itu membawa kami kembali dari bekerja setelah matahari terbenam dengan dikawal oleh orang itu. Tiba-tiba rantai yang mengikat saya terputus dan jatuh dari kaki saya.’

Anak muda itu menyebutkan hari dan saat di mana peristiwa itu terjadi, dan saat itu adalah persis ketika wanita itu mendatangi Syeikh Taqy saat beliau berdoa. Si pemuda melanjutkan ceritanya:
`Pengawal memukul saya dan berteriak, `Engkau telah memutuskan rantai ini!’ Saya berkata, `Tidak, ia jatuh sendiri dari kaki saya!’

Orang itu kebingungan dan tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia memanggil teman-temannya, lalu memanggil seorang pandai besi. Mereka lalu merantai saya lagi. Tapi begitu saya berjalan beberapa langkah, rantai itu terlepas lagi dari kaki saya. Mereka tercengang dan kemudian memanggil para pendeta mereka. Para pendeta itu bertanya kepada saya, “Apakah engkau punya ibu?” Saya katakan, `Ya.’ Mereka lalu berkata, `Doa ibumu telah dikabulkan. Allah swt. telah membebaskanmu. Kami tak bisa lagi merantaimu.’ Kemudian mereka memberi saya makanan dan bekal lalu menyuruh seorang pengawal mengantarkan saya sampai ke daerah kaum Muslimin’.”

Gerbang Cinta Para Wali

Ada cahaya yang memendar nun jauh di sana. Tak habis-habisnya mata memandang penuh pesona. Indah dan menakjubkan, hingga tiada sesaat pun melainkan sebuah klimaks dari puncak rasa kita, terkadang seperti puncak gelombang Cinta, terkadang menghempas seperti sauh-sauh kesadaran di hempas pantai, terkadang begitu jauh di luar batas harapan, padahal ia lebih dekat dari sanubari kita sendiri.

Tiba-tiba cahaya itu ada di depan mata hati kita. Ternyata sebuah gerbang keagungan yang dahsyat penuh kharisma. Gerbang itu seakan bicara: “Akulah gerbang para kekasih Tuhan”. Sejengkal saja kaki kita melangkah, memasuki pintu gerbang itu, seluruh kesadaran kita sirna dalam luapan gelombang cinta yang digerakkan oleh kedahsyatan angin kerinduan. Kata pertama yang berbunyi di sana adalah deretan puja dan puji:

“Segala puji bagi Allah yang telah meluapi lembah kalbu para wali-Nya dengan luapan Cinta kepada-Nya. Dia yang membangunkan istana khusus agar luapan arwah para kekasih-Nya itu, senantiasa menyaksikan keagungan-Nya. Dia pula yang menghamparkan padang ma’rifatullah melalui rahasia-rahasia jiwanya. Lalu kalbunya berada di sebuah taman surga. Taman itu penuh dengan lukisan-lukisan ma’rifatullah yang tiada tara. Sedangkan arwah-arwah mereka berada di Taman Malakut, tak sejenak pun arwah itu melainkan berada dalam keabadian penyucian pada-Nya. Duh, rahasia arwahnya, mendendangkan tasbih dalam tarian Lautan Jabarut-Nya.”

Lalu sebuah gerbang yang begitu agung dan indahnya, mengukirkan prasasti yang ditulis oleh Qalam Ruhani. “Segala Puja bagi Allah, yang telah membuka gerbang Cinta-Nya bagi para Kekasih-Nya. Lalu Dia mengurai rantai yang membelenggu jiwanya, sehingga mereka teguh dalam keharusan khidmah pada-Nya, sedangkan cahaya-cahaya-Nya melimpahi akal-akal mereka. Lalu tampak jelas, keajaiban-keajaiban kekuasaan-Nya, sedangkan kalbu-kalbu mereka terjaga dari haru biru tipudaya yang menumpah pada pesona-pesona cetak lahiriyah jagad semesta, sampai akhirnya menggapai ma’rifat paripurna. Amboi, ruh-ruh mereka tersingkapkan dari kemahasucian paripurna-Nya, dan sifat-sifat keagungan-Nya. Merekalah penempuh jalan hadirat-Nya, dalam kenikmatan rahasia kedekatan dengan-Nya, melalui tarekat dahsyat rindu dendam-Nya, hingga mereka termanifestasi dalam hakikat, melalui penyaksian Ketunggalan-Nya. Mereka telah diraih dari mereka, dan Dia menyirnakan mereka dari mereka, lalu mereka ditenggelamkan dalam lautan Kemaha-Dia-an-Nya. Dia memisahkan pasukan-pasukan terpencar dalam kesatuan kitab-Nya bagi para kekasih terpilih-Nya. Lalu mereka terjaga oleh kerahasiaan jiwa melalui limpahan cahaya-cahaya, agar ia menjadi obyek manifestasi, di samping ke-Tunggal-Dirian-Nya.”

Kalau saja kita ingin mengenal gerbang-gerbang Kekasih Allah itu, semata bukanlah hasrat dan ambisi untuk menjadi Kekasih-Nya. Sebab, mengangkat derajat seseorang menjadi Kekasih-Nya adalah Hak Allah, dan Allah sendiri yang memberi Wilayah itu kepada hamba-Nya yang dikehendaki-Nya.

Sekadar berkah atas cahaya kewalian dari kekasih-kekasih-Nya itu, sesungguhnya lebih dari cukup bagi kita. Sedangkan pengetahuan kita atas dunia kewalian yang menjadi bagian dari misteri-misteri Ilahi, tidak lebih dari limpahan-limpahan Ilahi, agar kita lebih yakin kepada-Nya atas keimanan kita selama ini.

Para Auliya Allah adalah Ahlullah. Mereka terpencar di muka bumi sebagai “tanda-tanda” Ilahiyah, dengan jumlah tertentu, dan tugas-tugas tertentu. Di antara mereka ada yang ditampakkan karamahnya, ada pula yang tidak ditampakkan sama sekali. Oleh karena itu hamba-hamba Allah yang diberi kehebatan luar biasa, tidak sama sekali disebut Waliyullah, dan belum tentu juga yang tidak memiliki kelebihan sama sekali, tidak mendapat derajat Wali Allah. Para Auliya adalah mereka yang senantiasa mencurahkan jiwanya untuk Ubudiyah kepada Allah, dan menjauhkan jiwanya dari kemaksiatan kepada Allah.

Di masyarakat kita, seringkali terjebak oleh fenomena-fenomena metafisikal yang begitu dahsyat yang muncul dari seseorang. Lalu masyarakat kita mengklaim bahwa orang tersebut tergolong Waliyullah. Padahal kata seorang syekh sufi, “Jika kalian melihat seseorang bisa terbang, bisa menembus batas geografis dengan cepat, bahkan bisa menembus waktu yang berlalu dan yang akan datang, janganlah Anda anggap itu seorang Wali Allah sepanjang ia tidak mengikuti Sunnah Rasulullah SAW.“

Mengapa? Sebab ada ilmu-ilmu hikmah tertentu yang bisa dipelajari, agar seseorang memiliki kehebatan tertentu di luar batas ruang dan waktu, dan ironisnya ilmu demikian disebut sebagai Ilmu Karamah. Padahal karamah itu, adalah limpahan anugerah Ilahi, bukan karena usaha-usaha tertentu dari hamba Allah.

Karamah sendiri bukanlah syarat dari kewalian. Kalau saja muncul karamah pada diri seorang wali, semata hanyalah sebagai petunjuk atas kebenaran ibadahnya, kedudukan luhurnya, namun dengan syarat tetap berpijak pada perintah Nabi SAW. Jika tidak demikian, maka karamah hanyalah kehinaan syetan. Karena itu di antara orang-orang yang saleh ada yang mengetahui derajat kewaliannya, dan orang lain tahu. Ada pula yang tidak mengetahui derajat kewaliannya sendiri, dan orang lain pun tidak tahu. Bahkan ada orang lain yang tahu, tetapi dirinya sendiri tidak tahu.

Tetapi di belahan ummat Islam lain juga ada yang menolak konsep kewalian. Bahkan dengan mudah mengklaim yang disebut Auliya’ itu seakan-akan hanya derajat biasa dari derajat keimanan seseorang. Tentu saja, kelompok ini sama kelirunya dengan kelompok mereka yang menganggap seseorang, asal memiliki kehebatan, lalu disebut sebagai Waliyullah, apalagi jika orang itu dari kalangan kiai atau ulama.

Meluruskan pandangan Kewalian di khalayak ummat kita, memang sesuatu yang rumit. Ada ganjalan-ganjalan primordial dan psikologis, bahkan juga ganjalan intelektual.

Al-Quthub Abul Abbas al-Mursi, semoga Allah meridlainya, menegaskan dalam kitab yang ditulis oleh muridnya, Lathaiful Minan, karya Ibnu Athaillah as-Sakandari, “Waliyullah itu diliputi oleh ilmu dan ma’rifat-ma’rifat, sedangkan wilayah hakikat senantiasa disaksikan oleh mata hatinya, sehingga ketika ia memberikan nasehat seakan-akan apa yang dikatakan seperti identik dengan izin Allah. Dan harus dipahami, bagi siapa yang diizinkan Allah untuk meraih ibarat yang diucapkan, pasti akan memberikan kebaikan kepada semua makhluk, sementara isyarat-isyaratnya menjadi riasan indah bagi jiwa-jiwa makhluk itu.”

“Dasar utama perkara Wali itu,” kata Abul Abbas, “adalah merasa cukup bersama Allah, menerima Ilmu-Nya, dan mendapatkan pertolongan melalui musyahadah kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman: “Barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia-lah yang mencukupinya.” (QS. ath-Thalaq: 3). “Bukankah Allah telah mencukupi hambanya?” (QS. Az-Zumar: 36). “Bukankah ia tahu, bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Tahu?” (QS. al-‘Alaq :14). “Apakah kamu tidak cukup dengan Tuhanmu, bahwa sesungguhnya Dia itu Menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilat: 53).
Syekh Agung Abdul Halim Mahmud dalam memberikan catatan khusus mengenai Lathaiful Minan karya as-Sakandari mengupas panjang lebar mengenai Kewalian ini. Hal demikian dilakukan karena, as-Sakandari menulis kitab itu memulai tentang wacana Kewalian, karena memang, buku besar itu ingin mengupas tuntas tentang biografi dua Waliyullah terbesar sepanjang zaman, yaitu Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzili ra dan muridnya, Syekh Abul Abbas al-Mursi.

Dalam sebuah ayat yang seringkali menjadi rujukan utama dunia Kewalian adalah: “Ingatlah bahwa sesungguhnya para Wali-wali Allah itu tidak punya rasa takut dan rasa gelisah. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka bertaqwa. Mereka mendapatkan kegembiraan dalam kehidupan dunia dan dalam kehidupan akhirat. Tidak ada perubahan bagi Kalimat-kalimat Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62-64)
Dalam salah satu hadits Qudsi yang sangat populer disebutkan, “Rasulullah SAW bersabda: Allah Ta’ala berfirman: “Siapa yang memusuhi Wali-Ku, maka benar-benar Aku izinkan orang itu untuk diperangi. Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih Aku cintai dibanding apa yang Aku wajibkan padanya. Dan hamba-Ku itu senantiasa mendekatkan pada-Ku dengan ibadah-ibadah Sunnah sehingga Aku mencintai-Nya. Maka bila Aku mencintainya, Akulah pendengarannya di mana ia mendengar, dan menjadi matanya di mana ia melihat, dan menjadi tangannya di mana ia memukul, dan menjadi kakinya di mana ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, Akupasti memberinya, jika ia memohon perlindungan kepadaKu Aku pasti melindunginya.”

Karenanya al-Hakim at-Tirmidzi, salah satu sufi besar generasi abad pertengahan, menulis kitab yang sangat monumental hingga saat ini, Khatamul Auliya’ (Tanda-tanda Kewalian), yang di antaranya berisi 156 pertanyaan mengenai dunia sufi, dan siapa yang bisa menjawabnya, maka ia akan mendapatkan Tanda-tanda Kewalian itu. Beliau juga menulis kitab ‘Ilmul Auliya.

Ragam Para Wali
Para Syekh Sufi membagi macam para Wali dengan berbagai versi, termasuk derajat masing-masing di hadapan Allah Ta’ala. Dalam kitab Al-Mafakhirul Aliyah fi al-Ma’atsir asy-Syadzilyah disebutkan ketika membahas soal Wali Quthub. Syekh Syamsuddin bin Katilah Rahimahullaahu Ta’ala menceritakan: “Saya sedang duduk di hadapan guruku, lalu terlintas untuk menanyakan tentang Wali Quthub. “Apa makna Quthub itu wahai tuanku?” Lalu beliau menjawab, “Quthub itu banyak. Setiap muqaddam atau pemuka sufi bisa disebut sebagai Quthub-nya.

Sedangkan al-Quthubul Ghauts al-Fard al-Jami’ itu hanya satu. Artinya bahwa Wali Nuqaba’ itu jumlahnya 300. Mereka itu telah lepas dari rekadaya nafsu, dan mereka memiliki 10 amaliyah: empat amaliyah bersifat lahiriyah, dan enam amaliyah bersifat bathiniyah. Empat amaliyah lahiriyah itu antara lain:

1) Ibadah yang banyak, 2) Melakukan zuhud hakiki, 3) Menekan hasrat diri, 4) Mujahadah dengan maksimal. Sedangkan lelaku batinnya: 1) Taubat, 2) Inabat, 3) Muhasabah, 4) Tafakkur, 5) Merakit dalam Allah, 6) Riyadlah. Di antara 300 Wali ini ada imam dan pemukanya, dan ia disebut sebagai Quthub-nya.

Sedangkan Wali Nujaba’ jumlahnya 40 Wali. Ada yang mengatakan 70 Wali. Tugas mereka adalah memikul beban-beban kesulitan manusia. Karena itu yang diperjuangkan adalah hak orang lain (bukan dirinya sendiri). Mereka memiliki delapan amaliyah: empat bersifat batiniyah, dan empat lagi bersifat lahiriyah: Yang bersifat lahiriyah adalah 1) Futuwwah (peduli sepenuhnya pada hak orang lain), 2) Tawadlu’, 3) Menjaga Adab (dengan Allah dan sesama) dan 4) Ibadah secara maksimal. Sedangkan secara Batiniyah, 1) Sabar, 2) Ridla, 3) Syukur), 4) Malu.

Adapun Wali Abdal berjumlah 7 orang. Mereka disebut sebagai kalangan paripurna, istiqamah dan memelihara keseimbangan kehambaan. Mereka telah lepas dari imajinasi dan khayalan, dan mereka memiliki delapan amaliyah lahir dan batin. Yang bersifat lahiriyah: 1) Diam, 2) Terjaga dari tidur, 3) Lapar dan 4) ‘Uzlah. Dari masing-masing empat amaliyah lahiriyah ini juga terbagi menjadi empat pula: Lahiriyah dan sekaligus Batiniyah:
Pertama, diam, secara lahiriyah diam dari bicara, kecuali hanya berdzikir kepada Allah Ta’ala. Sedangkan Batinnya, adalah diam batinnya dari seluruh rincian keragaman dan berita-berita batin. Kedua, terjaga dari tidur secara lahiriyah, batinnya terjaga dari kealpaan dari dzikrullah. Ketiga, lapar, terbagi dua. Laparnya kalangan Abrar, karena kesempurnaan penempuhan menuju Allah, dan laparnya kalangan Muqarrabun karena penuh dengan hidangan anugerah sukacita Ilahiyah (uns). Keempat, ‘uzlah, secara lahiriyah tidak berada di tengah keramaian, secara batiniyah meninggalkan rasa suka cita bersama banyak orang, karena suka cita hanya bersama Allah.

Amaliyah Batiniyah kalangan Abdal, juga ada empat prinsipal: 1) Tajrid (hanya semata bersama Allah), 2) Tafrid (yang ada hanya Allah), 3) Al-Jam’u (berada dalam Kesatuan Allah, 3) Tauhid.

Ragam lain dari para Wali ada yang disebut dengan Dua Imam (Imamani), yaitu dua pribadi, salah satu ada di sisi kanan Quthub dan sisi lain ada di sisi kirinya. Yang ada di sisi kanan senantiasa memandang alam Malakut (alam batin) -- dan derajatnya lebih luhur ketimbang kawannya yang di sisi kiri --, sedangkan yang di sisi kiri senantiasa memandang ke alam jagad semesta (malak). Sosok di kanan Quthub adalah Badal dari Quthub. Namun masing-masing memiliki empat amaliyah Batin, dan empat amaliyah Lahir. Yang bersifat Lahiriyah adalah: Zuhud, Wara’, Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. Sedangkan yang bersifat Batiniyah: Kejujuran hati, Ikhlas, Mememlihara Malu dan Muraqabah.

Wali lain disebut dengan al-Ghauts, yaitu seorang tokoh agung dan tuan mulia, di mana seluruh ummat manusia sangat membutuhkan pertolongannya, terutama untuk menjelaskan rahasia hakikat-hakikat Ilahiyah. Mereka juga memohon doa kepada al-Ghauts, sebab al-Ghauts sangat diijabahi doanya. Jika ia bersumpah langsung terjadi sumpahnya, seperti Uwais al-Qarni di zaman Rasul SAW. Dan seorang Qutub tidak bisa disebut Quthub manakala tidak memiliki sifat dan predikat integral dari para Wali.

Al-Umana’, juga ragam Wali adalah kalangan Malamatiyah, yaitu mereka yang menyembunyikan dunia batinnya, dan tidak tampak sama sekali di dunia lahiriyahnya. Biasanya kaum Umana’ memiliki pengikut Ahlul Futuwwah, yaitu mereka yang sangat peduli pada kemanusiaan.
Al-Afraad, yaitu Wali yang sangat spesial, di luar pandangan dunia Quthub.

Para Quthub senantiasa bicara dengan Akal Akbar, dengan Ruh Cahaya-cahaya (Ruhul Anwar), dengan Pena yang luhur (Al-Qalamul A’la), dengan Kesucian yang sangat indah (Al-Qudsul Al-Abha), dengan Asma yang Agung (Ismul A’dzam), dengan Kibritul Ahmar (ibarat Berlian Merah), dengan Yaqut yang mememancarkan cahaya ruhani, dengan Asma’-asma, huruf-huruf dan lingkaran-lingkaran Asma huruf. Dia bicara dengan cahaya matahati di atas rahasia terdalam di lubuk rahasianya. Ia seorang yang alim dengan pengetahuan lahiriah dan batiniyah dengan kedalaman makna yang dahsyat, baik dalam tafsir, hadits, fiqih, ushul, bahasa, hikmah dan etika. Sebuah ilustrasi yang digambarkan pada Sulthanul Aulioya Syeikhul Quthub Abul Hasan Asy-Syadzily – semoga Allah senantiasa meridhoi .

Kenapa Bencana Melanda Negara Mayoritas Islam?

Sejumlah surat masuk dalam meja redaksi, dan semuanya bernada serupa. Dan surat-surat itu senantiasa meminta jawaban dan solusi dunia Sufi dalam menyikapi dan menghadapi cobaan dan bencana.
Salah satu surat ke meja redaksi diharapkan mewakili para pembaca:

Assalamu'laikunm wr. wb.
Di Indonesia ini penganut Islamnya terbanyak di dunia tapi mengapa selalu saja dilanda bencana yang tak kunjung henti. Apa karena Islamnya hanya Islam kulit tidak sampai Islam hakikat mohon penjelasan
Wassalamu'laikunm wr. wb.
Windu (pencari1jalan@yahoo.com)

Pertanyaan anda barangkali juga menjadi kegalauan bagi ummat Islam, dengan pertanyaan yang sama. Misteri apa dibalik semua ini?
Pertama: Allah menguji manusia dengan hal-hal yang buruk dan hal-hal yang baik. Untuk mengukur sejauhmana kesalehan tindakannya di dunia sebagai hamba, dan sekaligus apakah seorang hamba lulus menghadapi ujian-ujian itu. Jika lulus ia naik derajat, dan jika tidak, ia terdegradasi.
Kedua: Allah menyeleksi para hambaNya dari semua level dan kalangan. Mulai dari paling awam, paling elit atau pun dari kalangan biasa, pejabat, politisi, pengusaha, ustadz, kyai, ulama, dan tukang becak. Nilai derajat itu ditentukan, apakah sang hamba sabar dan ridlo atau tidak. Bukan dilihat dari - apakah seorang itu semakin sukses dan bangkrut,- bukan itu ukurannya.
Ketiga: Allah ingin mempercantik alam ini, dan tentu saja memasukkannya dalam salon ruhaniyah melalui bencana itu, agar semesta kelak lebih indah dan menyejukkan iman kita.
Keempat: Agar kita semua bosan dan jenuh dengan kepalsuan dunia, dan lebih memilih Allah dan RasulNya. Karena Kecemburuan Allah pada kita, atas Cinta dan KasihNya yang Agung kita abaikan, dengan perselingkuhan kita pada makhluk, akhirnya Allah membentak kita dengan sesuatu yang keras, agar kita kembali ke pelukan RahmatNya. Bentakan Allah itu diturunkan semata karena saking cinta dan sayangNya Allah kepada kita.
Kelima: Banyaknya gelombang yang melebihi dahsyatnya Tsunami. Suatu badai kekeringan dan kegersangan spiritual, yang menumbuhkan kehausan dan kegersangan jiwa dari ummat Islam itu sendiri. Begitu marak bendera-bendera Islam, slogan-slogan takbir, teriakan-teriakan demonstran membela Islam, tetapi hati dan ruh mereka seperti terpanggang di atas sahara kegersangannya. Lalu mereka kehilangan moral sejati, akhlaq ruhani, kebeningan hati sebagai ummat, lebih senang bermain-main di kawasan limbah dan kulit-kulit kering belaka.
Keenam: Jika banyak orang miskin yang tak berdosa terkena bencana, sementara koruptor semakin berjaya, ketidakadilan semakin merajalela, dan premanisme semakin bergaya, semata karena Allah menyayangi hamba-hambaNya yang miskin, agar tidak terkutuk bersama-sama para penjahat itu, para munafiqin yang mengaku sok Islam tetapi hatinya busuk itu.
Ketujuh: Derajat ummat ditentukan sejauhmana keikhlasannya dalam beribadah, kesabarannya dalam menghadapi cobaan, keridloaannya dalam merespon ketentuan dari Allah Ta'ala.
Kedelapan: Allah tidak pernah menzalimi hambaNya tetapi para hamba itu sendiri yang menzalimi diri sendiri. Allah tidak pernah marah kecuali karena didahului oleh rasa CintaNya yang Agung. Allah tidak pernah memanipulasi para hambaNya dan tidak punya kepentingan dengan maksiat atau taatnya hamba. Tetapi, para hamba seringkali memanipulasi Nama-Nama BesarNya demi hawa nafsunya, simbo-simbolNya demi kepentingan kekuasaan hamba, dan sesungguhnya para hambalah yang butuh Allah Ta'ala.
Kesembilan: Para hamba Allah di muka bumi telah banyak kehilangan rasa kehambaannya. Mereka lebih senang menjadi hamba dunia dan nafsunya, bahkan sangat bangga menjadi hambanya syetan. Coba anda survey di khalayak, berapa persen ummat Islam ini yang masih memegang teguh sifat kehambaanya: Rasa Fakir kepada Allah, Rasa hina di depan Allah, Rasa tak berdaya di hadapanNya, Rasa lemah di depanNya? Bukankah mayoritas saat ini malah merasa cukup dan tidak butuh Allah, merasa mulia karena menganggap dirinya lebih Islam dan lebih dekat Allah; merasa kuat dan berkuasa di muka bumi?
Kesepuluh: Dalam dunia Sufi, menghadapi cobaan dengan kesabaran, diperuntukkan kalangan awam. Tetapi bersyukur atas bencana dan cobaan, adalah sikap bagi kalangan khusus. Bersyukur terhadap nikmat adalah sikap kaum awam, bersabar menghadapi nikmat adalah sikap kalangan khusus.
Kesebelas: Jangan dikira, bahwa kejadian-kejadian alam yang hancur itu bukan karena ulah manusia. Akal dan pengetahuan manusia yang terbatas beralibi: Bagaimana bencana terjadi karena ulah manusia? Bukankah ini gejala alam murni? Bukankah ini semua bisa diprediksi? Bukankah bencana ini karena faktor-faktor evolusi dan seterusnya? Mari kita belajar pada tragedi Nuh as, ketika putranya Kan'an mengandalkan ilmu pengetahuan dan rasionya, sampai ia tenggelam dalam kekufurannya. Belajar pula pada kaum Luth, ketika ulah mereka menimbulkan bencana bumi yang tragis. Ingatlah pula hadits Nabi saw, mengenai Qiyamat, "Bahwa kiamat tidak akan terjadi sepanjang masih ada satu manusia yang berdzikir Allah Allah…"
Keduabelas: Bila Cahaya menerangi seluruh dunia dan seluruh ummat manusia mengalami pencerahan semua tanpa sisa, dunia pun akan kiamat. Begitu juga sebaliknya, jika kegelapan memenuhi jiwa manusia seluruhnya secara total, dunia juga kiamat. Namun, hadits Nabi memberikan indikasi bahwa fakta qiamat bagi dunia adalah ketika dunia dengan manusianya mencapai kegelapan total. Bukan Cahaya total.
Ketiga Belas: Ibadah, kepatuhan, ketaqwaan, kesalehan, dan kemuhsinan ummat Islam, sangat mempengaruhi perjalanan kosmik semesta, karena manusia adalah sentral dari makhluk Allah, dan sentral manusia adalah qalbunya. Begitu juga sebaliknya, kejahatan, kebejatan, kesombongan dan kealpaan manusia mempengaruhi tatasurya dan jagad semesta. Dalam dunia Sufi disebutkan, bahwa aspek lahiriyah fisika itu hanyalah akibat dari batin dan hakikat kita.
Keempatbelas: Perhitungan matematika, logika dan fisika, hanyalah perhitungan gejala dan tanda. Ada yang lebih neukleus (inti) bahwa perhitungan ruhani menempati posisi sentral dalam gerak gerik semesta ini.
Kelimabelas: Bagaimana anda melihat bencana? Anda lihat dengan matahati anda sendiri-sendiri: Jika anda sedang dalam gairah mencintai Allah dan RasulNya, matahati akan memandang betapa agungnya Asma dan SifatNya. Jika anda sedang alpa dan lalai, menuruti kepentingan nafsu diri, itulah bentakan-bentakan Ilahi kepada anda. Jika Anda dalam kondisi sangat miskin secara duniawi, padahal anda dekat denganNya, itulah cara Allah menyelamatkan diri anda. Jika anda sedang berkecukupan, tetapi harta anda menumpuk bagai sampah di peti kekayaan anda, itulah cara Allah mengingatkan agar anda mengeluarkan kotoran-kotoran harta anda. Jika anda sedang bercahaya bersamaNya; itulah cara Allah menampakkan KemahasucianNya, dan caraNya memperdengarkan tasbihnya alam kepada anda.
Keenambelas: Lihatlah dengan matahati pula, dibalik yang tampak di semesta kehidupan ini, maka disanalah matahati menyaksikan Allah, dibalik, dibawah, di atas, sebelum, sesudah alam semesta ini. Jika tak mampu demikian, sesungguhnya matahati anda sedang kabur dari Cahaya Allah, karena tertupi oleh mendung-mendung duniawi dan nafsu anda, dari Cahaya ma'rifat kepadaNya.
Renungkan semua itu, sembari terus beristighfar kepada Allah…

Renungan Harian Sufi di Bulan Suci

Memasuki bulan Suci Ramadlan, berarti kita memasuki Lembah Ilahi, dari hari ke hari, hingga genap sebulan atau 29 hari. Barangkali kita bisa terbantu untuk menghayati puasa kita, baik puasa lahir maupun puasa batin, puasa fisik maupun puasa hati kita.

Hari pertama:
“Puasa itu untukKu, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” Demikian hadits Qudsi. Berarti hari pertama ini, seluruh hasrat, kehendak, citarasa, tekad, tujuan dan niat, yang menggumpal di hati kita hanya untuk Allah Ta'ala semata. "Oh Tuhan, hatiku untukmu…dahaga kerongkongan, dan perut keroncongan, adalah pestanya hatiku denganMu…Hatiku tak ingin selain DiriMu…"

Hari Kedua:
Dalam kata RAMADLAN, ada huruf Ra', Mim, Dlad, Alif, Nun.
1. Ra', Ridlwanuhu = Ridlanya Allah.
2. Mim, Mahabatuhu = Cintanya Allah,
3. Dlad, Dlomanuhu = Jaminan Allah,
4. Alif, Ulfatuhu = KemahalembutanNya,
5. Nun, Nuruhu = CahayaNya.

Semua diperuntukkan orang-orang yang berpuasa. Bersyukurlah, karena anda telah dicatat dalam CatatanNya sebagai orang yang berpuasa. Jika tidak, hanya lapar dan dahaga belaka.

Hari Ketiga:
Jika ada emosi, jika ada yang menjengkelkan di pagi hari, di terik matahari, atau menjelang senjakala tiba, kembalikan hatimu kepadaNya, siapa tahu ujian dan cobaan itu sedang menimbang naiknya derajatmu. Ingatlah kegembiraan orang-orang yang sedang berbuka, segala masalah jadi lupa.

Hari Keempat:
Mata, perut, hidung, telinga, kelamin, mulut, sedang menahan diri dari tarikan syahwatnya. Hati harus menahan diri dari segala iming-iming nafsu dan duniawinya. Ruh, adalah arus kuat yang menggerakkan menuju Allah. Sirr (rahasia jiwa) tak ingin ada selain Allah.

Hari Kelima:
Jika ada penyesalan karena tindakan dosa yang kau lakukan selama empat hari lalu di tengah berpuasa, janganlah penyesalan itu membuatmu semakin jauh dari harapan kepadaNya. Karena hari-hari esok adalah CahayaNya, dan hari ini bukalah jendela pintu hatimu untuk bias Cahaya paginya yang indah.

Hari Keenam:
Jangan lupa, seluruh amaliyah rutin yang biasa kau baca, kau wiridkan, amaliyah sunnah di bulan ini jangan kau abaikan sedikit pun. Apa pun kesibukanmu, masalah yang membuat dirimu tertekan sekali pun, jangan sempai memutus kabel yang menyambungkan dirimu dengan Allah.

Hari Ketujuh:
Mari melakukan konser ruhani di bulan suci. Seluruh bunyi dan nada kita pendengarkan secara harmoni dalam jiwa kita. Serasa seluruh ragam dzikir berbunyi bersama, dalam naik turunnya nafas jiwa, begitu gemebyar dalam seluruh semesta, tasbih, tahmid, takbir, hauqolah, istighfar, sholawat Nabi, tahlil, dan tersembunyi dalam sunyi, Allah Allah Allah.

Hari Kedelapan:
Penjarakan dan kuburkan, seluruh sifat-sifat burukmu, iri, dengki, takabur, riya', 'takjub pada diri sendiri, menuruti nafsu syahwat, menuruti kesenangan dunia, kemunafikan, kezaliman, dan kemusyrikan hati. Jika sesekali hendak muncul sifat-sifat itu, cepat-cepatlah beristighfar dan kau lawan dengan segala caramu

Hari Kesembilan:
Islam, berarti hatimu harus Istislam, yang makna pasrah total kepadaNya, agar selaras dengan kehendak-kehendak aturanNya. Iman, berarti yakin, membenarkan, dan mengamankan hatimu dari segala hal selain Allah, agar iman tumbuh menjadi Syajarah Thoyyibah. Ihsan, adalah buah dari Islam dan Iman kita, yang maujud dalam Muroqobah, Musyahadah dan Ma'rifah.


Hari Kesepuluh:
Sepertiga bulan kita lalui. Masihkah anda terus melawan diri sendiri? Hasrat-hasrat sampah yang membui dirimu? Apakah masih kau biarkan dirimu bertumpukan dengan onggokan limbah-limbah di hatimu? Oh, bangunlah dan melompatlah segera ke air bening jiwamu, arungi samudera sucinya, di sana banyak mutiara-mutiara.

Hari Kesebelas:
Jangan biarkan malam-malam suci ini tanpa bersamaNya. Jangan biarkan kegelapan tanpa Lampu CahayaNya. Jangan biarkan lolong anjing malam pekat yang menghadang malaikat mengganggu suara munajatmu. Jangan biarkan malam-malammu bersyahwat berlebihan. Jangan biarkan…. malam-malammu bersama TV dan hiburan

Hari Keduabelas:
Hati kita melangkah ke depan, bukan melangkah ke belakang, apalagi diam di tempat. Semangat hati dan rasa syukur harus terus terjaga untuk bangkit kepadaNya. Semakin baik, semakin lembut, semakin sabar, semakin ikhlas, semakin ridlo, semakin tawakkal, semakin dekat, semakin cinta. Itulah langkah hati ke depan, dengan meninggalkan hal-hal yang buruk.

Hari Ketigabelas:
Di dunia ini bukannya tempat kebahagiaan dan kesenangan. Senang dan gembira sehari dalam 24 jam, paling hanya satu jam kita gembira dan bahagia. Selebihnya jiwamu berjuang dengan berbagai masalah bukan? Bahagia dan gembira hanya maujud di akhirat, karena itu, jika muncul kebahagiaan di dunia, itu hanyalah bonus-bonus dari Allah. Tetapi jika engkau ingin bahagia, letakkan hatimu di akhirat, fisik, akal dan fikiranmu di dunia.

Hari Keempatbelas:
Kapankah anda menjadi orang baik? Katanya, orang baik itu adalah orang yang dalam keadaan sendiri tetap baik. Kapankah anda menjadi hamba Allah? Katanya hamba Allah itu pasrah menjadi Wayangnya Allah. Kapankah anda menjadi penempuh Jalan Ilahi? Katanya para penempuh itu mulai bersiap diri meninggalkan haru biru duniawi dari dalam hati. Atau kapankah anda menjadi para 'Arifun? Katanya para 'Arifun itu terus menerus bersamaNya, disertai olehNya.

Hari Kelimabelas:
Bersihkan terus menerus kaca cermin di hatimu, agar cahayaNya yang memantul tidak buram atau abu-abu. Jika kau biarkan, akan tumbuh kotoran yang berkarat, terasa sakit pedih ketika dibersihkan. Sungguh jangan kau biarkan sampai retak-retak cermin jiwamu, karena retak cermin adalah membiarkan kemunafikan di hatimu. Dan Na'udzubillah jangan sampai kau balik cerminmu, karena bercermin dari balik cermin berarti telah terhijab dalam kegelapan.

Ini, sungguh, bulan CahayaNya.

Hari Keenambelas:
Memang, ada saja masalah sehari-hari. Masalah muncul hanya karena Allah ingin menunjukkan betapa sampahnya duniawi itu, agar segera dirimu lari menuju kepadaNya, dalam pelukan Kasih SayangNya.

Hari Ketujuhbelas:
Nafasmu telah ditentukan dan dihitung dalam takdir. Langkah kakimu, kedipan matamu, suara yang keluar masuk dalam telingamu, gerak gerik bibirmu, ciuman hidungmu, rabaan tanganmu, bahkan gerak gerik hatimu, semua dalam catatanNya. Alangkah sia-sianya jika semua itu digerakkan Allah, sementara dirimu tidak menyertaiNya dengan Dzikrullah.

Hari Kedelapanbelas:
Jangan gelisahkan, jangan takutkan, apa yang berlalu dan yang akan datang. Karena bila kita lihat diri kita sendiri, amal perbuatan kita sendiri, ibadah dan taqarrub kita selama ini, hati penuh luka, rasanya tak berarti apa-apa di hadapanNya. Tapi jika kita lihat Rahmat, Fadlal dan AnugerahNya, serasa apa pun semua bermakna indah, agung, luhur dan betapa besarnya.

Hari Kesembilanbelas:
Pintu-pintu syurga telah dibuka sejak awal bulan ini. Pintu-pintu neraka ditutup sejak memasuki bulan ini, syetan dibelenggu. Masukilah pintu-pintuNya dengan seluruh kebajikanmu, ubudiyahmu, taqarrubmu. Jangan ada nafsu yang menghambat jalanmu.

Hari Keduapuluh:
Kedekatan Rasulullah SAW, denganmu, seperti air dalam pohon, yang meliputi seluruh batang, akar, cabang, daun, bunga dan buah. Tak ada yang tidak dialiri oleh air itu. Jika pohon jiwamu terasa kering, karena jejak-jejaknya tak kau ikuti, ucapan-ucapanNya tak kau hiraukan, peringatan-peringatannya kau abaikan. Karena itu jangan abaikan lagi Sholawat Nabi.

Hari Keduapuluh satu:
Sungguh mengherankan, di hari-hari yang sudah seperti ini, situasi dan kondisi ummat sudah kayak begini, masih ada saja orang-orang yang terus menerus memanipulasi Ilahi untuk kepentingan diri, golongan dan keluarganya serta kekuasaannya. Di hari-hari seperti ini pula, sungguh mengherankan masih banyak orang yang mengeluh, ngresulo, tidak bersyukur dan ridlo kepadaNya.

Hari Keduapuluhdua:
Nyalakan lampu-lampu di seluruh rumahmu, kamar-kamar jiwamu, bilik-bilik hatimu, melalui arus ruhanimu yang digerakkan oleh dzikirmu. Jangan biarkan cahayamu byar pett seperti PLN….Sembrono!

Hari Keduapuluih tiga
Bacalah semua kehidupan nyata ini sebagai ayat-ayat Allah. Bulan ini Al-Qur'an turun di malam Lailatul Qadar bukan? Bacalah keseharian yang kau lihat, yang kau dengar, yang kau raba, yang kau rasakan, sebagai huruf-huruf yang menyusun kata, kalimat, ayat dan surat. Agar dimana pun, kemana pun, siatuasi apa pun, pandangan hatimu tak bertoleh kepada selain Allah.

Hari Keduapuluh empat:
Lihat pula seluruh semesta, jangan sampai kau lihat yang tampak nyata, lihatlah yang ada dibalik yang tampak itu. Disana ada Afa'al Allah, Asma Allah dan Sifat Allah. Jika yang tampak nyata masih tampak jelas, maka sesungguhnya yang tampak itu telah menghijab dirimu denganNya.

Hari Keduapuluhlima:
Hidupkan malam-malam tersisa ini dalam terang benderang CahayaNya. Hidupkan siangnya, dalam menahan terus apa pun selain DiriNya. Hidupkan pagi dan sore, sore dan hingga pagi, dalam getaran dzikir dan tasbihnya. Hidupkan semuanya, agar hatimu tidak mati!

Hari Keduapuluh enam:
Jawablah Surat-surat CintaNya kepadamu, dengan jawaban hatimu, dari tinta Sirr (rahasia jiwamu) paling dalam. Mungkin tak ada lagi kata atau sebersit yang tersirat karena jawabanmu adalah kefanaanmu, dan Surat-suratNya adalah KebaqaanNya yang menarikmu menuju padaNya.

Hari Keduapuluh tujuh:
Oh pintu Ma'rifatullah terbuka. Allah juga yang mema'rifatkanmu, bukan dirimu. Jangankan kau kenal diriNya, mengenal dirimu saja selalu buntu. Bolehlah kau mengenal dirimu, jika akhir pengenal akan dirimu tak lebih dari debu yang berterbangan, hingga kau mengenal Tuhanmu tanpa batas dan tiada tara. Allahu Akbar!

Hari Keduapuluh delapan:
Allah Allah Allah… Semuanya tanpa kecuali. Allah Allah Allah….semuanya tanpa henti. Allah Allah Allah…. Semuanya cahayaNya. Allah...Allah...Allah….Semuanya tiada kecuali WajahNya….

Hari Keduapuluh sembilan:
Besok hari raya bukan. Hari kemerdekaan yang hakiki. Hari segalanya penuh Takbir, Tasbih dan Tahmid. Hari lahir kembali. Lalu jangan lagi ada noda, luka, aniaya diri sendiri. Jika masih ada dendam pada diri sendiri, jika masih ada emosi pada sesama, jika masih ada keraguan atas Rahnmat dan AnugerahNya, segeralah bersihkan dengan permohonan yang total padaNya……