Selamat datang di blog saya, kalau anda ingin sukses berbisnis secara Islami silahkan baca artikel-artikel dibawah ini, semoga bermanfaat....

Jumat, 22 Mei 2009

Kisah-kisah berhikmah Syeikh Abdul Qadir Al Jilany

Orang-orang yang beragama Yahudi dan beragama Nasrani yang telah memeluk agama Islam di tangan asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani.
Pada suatu hari, seorang paderi Nasrani telah berjumpa dengan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani dan kemudiannya telah memeluk agama Islam di tangannya, di hadapan orang ramai.

Setelah itu, bekas paderi Nasrani itu pun menoleh ke arah khalayak dan telah bercerita “Aku adalah seorang lelaki dari Yemen. Telah lama aku bercita-cita untuk memasuki agama Islam, tetapi aku telah niat aku tidak akan memasuki agama Islam melainkan di tangan sebaik-baik orang Islam. Pada suatu malam, aku telah bermimpi bertemu dengan Isa ‘alaihissalam, dan dia telah menyuruhku pergi ke Baghdad dan bertemu dengan asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani karena menurut Isa ‘alaihissalam, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani adalah sebaik-baik manusia di atas bumi di zaman ini.”
Beberapa hari kemudian, datang pula tiga belas orang Nasrani dan mereka telah memeluk agama Islam di tangan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani di dalam majlisnya.

Mereka bercerita, “Kami adalah orang-orang berbangsa Arab yang beragama Nasrani. Kami memang telah lama berhajat untuk memeluk agama Islam, tetapi kami telah menangguhkannya karena kami tidak tahu kepada siapa kami harus mendeklarasikan keislaman kami. Nah, pada suatu hari, satu suara ghaib telah menyeru kepada kami. Kami tidak dapat melihat rupa si penyeru itu, tetapi kata-katanya telah dapat kami dengar dengan jelas.

Suara ghaib itu telah berkata, “Wahai orang-orang yang sedang menuju kejayaan! Pergilah ke kota Baghdad, dan peluklah agama Islam di tangan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani karena keimanan yang akan diletakkan di dada kamu semua di hadapannya dan melalui barakahnya, tidak akan dapat disamakan dengan keimanan yang akan diletakkan di dada kamu semua, di hadapan mana-mana orang lain pun di masa ini.”
Maka itulah sebabnya kami telah datang ke sini.”
Dan jumlah orang-orang Islam yang telah bertaubat di tangan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pula amat besar sekali.
Abu Muhammadd 'Abdullah al-Jubba’i mengenai jumlah orang-orang yang telah menerima manfaat melalui asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani. Guru kami, yakni asy-Syaikh Abdul Qodir al-Jilani pernah berkata kepadaku, “Kadang-kadang, aku telah bercita-cita untuk berada semula di padang pasir dan di tanah yang tandus, seperti hari-hari dulu, sehingga aku tidak memandang kepada manusia dan manusia pula tidak memandang kepadaku. Tetapi, Allah telah menghendaki agar aku menjadi sumber kebaikan untuk para makhlukNya. Karena, ada lebih dari lima ribu orang Yahudi dan Nasrani yang telah memeluk agama Islam di tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang pencuri, perompak dan penjahat, yang telah bertaubat di tanganku. Ini semua adalah satu kebaikan yang besar.”

Kisah-kisah berhikmah Syeikh Abdul Qadir Al Jilany
Oleh karena itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani juga telah dianggap sebagai seorang mujaddid (yakni seorang pembaharu yang menguatkan kembali agama Islam), walaupun beliau tidaklah dianggap sebagai al-mujaddid untuk kurun itu.
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani juga telah dikenali dengan nama panggilan Muhyiddin, yang berarti Sang Penghidup Agama. Menurut asy-Syaikh Muhammad ibn Yahya dalam kitabnya Qala’id al-Jawahir, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani sendiri telah bercerita:
Pada suatu hari Jumaat di dalam tahun 511 Hijrah, aku telah pulang ke Baghdad dari pengembaraanku. Aku sedang berkaki ayam. Aku terlihat (di dalam kasyaf) seorang lelaki tua yang sangat lemah, kulitnya sudah berubah warna dan badannya sangat kurus. Dia telah menahanku dan telah berkata,
“Selamat sejahtera ke atasmu wahai Abdul Qadir.”
Aku telah menjawab salamnya itu.
“Marilah dekat kepadaku,” pintanya Aku pun berdiri di sisinya.
“Bantulah aku sehingga aku dapat duduk semula.”
Aku pun membantunya sehingga dia dapat duduk. (Menurut satu riwayat lain, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah mendukungnya di atas bahu asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani.) Tiba-tiba badannya telah menjadi sehat, keadaannya telah berubah menjadi kuat dan warna kulitnya telah pulih semula.
Semula aku takut terhadapnya. Tetapi dia telah berkata, “Tahukah engkau siapa aku?”
Aku menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu.”
Dia berkata, “Aku adalah ad-din (agama yakni lambang agama Islam). Aku telah mati dan telah dilupakan. Tetapi melaluimu, Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi, telah menghidupkan aku semula setelah kematianku.”

Aku pun meninggalkannya dan telah pergi ke masjid Jamik. Seorang lelaki telah mendekatiku dan meletakkan sepasang kasut di kakiku. Dia telah berkata, “Ya Saiyidi Muhyiddin.”
Ketika aku sedang hendak melakukan shalat, orang-orang ramai telah datang untuk berjumpa denganku dan telah mencium tanganku dan telah berkata, “Wahai Muhyiddin.”
Sebelum itu, aku tidak pernah diberikan nama ini.

Kisah di atas ini adalah sebagai satu kabar gembira mengenai tugas penting yang bakal dilakukan oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani sepuluh tahun kemudian, karena setelah dia mulai berdakwah kepada orang ramai, pengaruhnya untuk “menghidupkan” semula agama Islam, memang telah dirasakan oleh masyarakat umum di kota Baghdad selama empat puluh tahun (yakni dari masa asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berumur lima puluh satu tahun sehingga dia meninggal dunia ketika berumur sembilan puluh satu tahun).

Pada suatu malam, sekumpulan masyaikh (lebih kurang lima puluh orang) telah berkumpul bersama-sama asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Tiba-tiba pada suatu ketika, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah mengalami satu keadaan kerohanian yang sangat tinggi. Banyak butir-butir mutiara hikmah yang telah keluar mencurah-curah dari bibirnya. Semua orang yang hadir di situ telah mengalami satu suasana ketenangan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
Di satu saat, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani menunjuk ke arah tapak kakinya dan berkata, “Dengan izin Allah, tapak kakiku berada di atas tengkuk setiap wali Allah.”

Dengan serta-merta, seorang sahabat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani yang bernama asy-Syaikh ‘Ali ibn al-Hiti, telah pergi ke kursi tinggi tempat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani selalu duduk ketika memberikan ceramah, dan telah menundukkan kepalanya di kaki asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani . Kemudian, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah meletakkan tapak kaki asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani di atas tengkuk asy-Syaikh ‘Ali ibn al-Hiti. Setelah melihat perbuatan asy-Syaikh ‘Ali ibn al-Hiti ini, para hadirin yang lain pun telah turut serta melakukan perbuatan yang sama.

Salah seorang dari para wali Allah yang hadir di situ, asy-Syaikh Abu Sa‘id ‘Ali al-Qailawi telah bercerita:
Apabila dia mengucapkan kata-kata “Tapak kakiku berada di atas tengkuk setiap wali Allah”, aku telah menyaksikan kebenaran kata-katanya itu. Aku nampak para wali Allah dari seluruh dunia telah berkumpul di hadapannya sehingga memenuhi pandanganku. Yang masih hidup telah datang dengan tubuh badan mereka, sedangkan yang sudah mati, telah hadir dengan roh mereka.

Langit telah dipenuhi oleh malaikat dan juga makhluk-makhluk lain yang tidak dapat dilihat oleh mata kasar. Sekumpulan malaikat telah turun ke bumi dan telah menyampaikan kepadanya sehelai jubah dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Apabila kami sedang memanjangkan leher kami, terdengar satu suara yang telah memuji-mujinya dengan beberapa rangkap pujian yang khas.
Apabila asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani mengatakan yang tapak kakinya berada di atas leher setiap wali Allah, ini bukanlah satu kesombongan. Dia hanya membuat satu ungkapan, tanpa merasakan besar diri di dalam hatinya.

Coba bandingkan dengan kata-kata Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang pada suatu hari, berkata kepada para sahabatnya:
“Aku adalah penghulu (saiyid) bagi keturunan Adam, dan aku tidak membanggakan diri. Akulah orang pertama yang akan dibelahkan bumi karenanya (dibangkitkan dari kubur), dan aku tidak membanggakan diri. Akulah orang pertama yang memberikan syafa‘ah dan orang pertama yang diterima syafa‘ah-nya, dan aku tidak membanggakan diri. Dan bendera puji-pujian berada di tanganku di Hari Kiamat, dan aku tidak membanggakan diri. (Diriwayatkan Imam Ahmad bin Hambal)

Yakni, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyatakan fakta yang baginda telah diberikan derajat yang tertinggi oleh Allah Ta‘ala. Dan ketika baginda menyatakan fakta ini, baginda tidak berkata-kata dengan perasaan bangga diri bertempat di dalam hatinya.

Telah bercerita asy-Syaikh Abi al-Barakat:
Aku telah bertanya kepada bapak saudaraku, yakni asy-Syaikh ‘Adl bn Musafir al-Hakkari (seorang wali Allah yang besar, dan juga seorang murid Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani), “Dari segala masyaikh yang besar-besar, adakah engkau mengetahui siapa, selain dari asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani yang telah berkata bahwa tapak kakinya berada di atas leher setiap wali Allah?”
Dia telah menjawab, “Tidak ada.”
Aku pun bertanya lagi, “Apakah makna kata-katanya itu?”
Dia telah menjawab, “Itu adalah tanda bahwa di waktu ini, dialah yang sedang menduduki maqam keunggulan.”
Aku bertanya lagi, “Adakah bagi setiap zaman itu, seorang wali Allah yang dianggap terunggul?”
Dia telah menjawab, “Ya, memang benar, ada. Tetapi, hanya asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani yang telah diberikan perintah untuk mengumumkannya.”
Aku bertanya lagi, “Adakah maksudmu yang dia telah menerima perintah untuk mengumumkannya?”
“Ya, benar. Dia memang telah menerima perintah itu. Dan mereka semua (yakni para wali Allah) telah merendahkan leher mereka karena perintah itu. Sebagaimana yang engkau ketahui, para malaikat telah sujud kepada Adam ‘alaihissalam. Mereka tidak melakukan demikian melainkan karena mereka telah menerima perintah dari Allah untuk melakukannya.”

Ada juga beberapa orang masyaikh lain yang telah memberikan penjelasan seperti berikut:
Perkataan tapak kaki (qadam) hendaklah digunakan secara metafora (majaz), dan bukan secara literal. Karena, penggunaan secara metafora adalah lebih bersesuaian dengan adab, dan boleh digunakan secara lebih meluas.

Perkataan qadam boleh dimaksudkan sebagai jalan, seperti yang digunakan di dalam ungkapan, “Si fulan adalah di atas satu tapak kaki yang terpuji (qadamul hamd) ”. Ini boleh di artikan sebagai “jalan yang terpuji, atau “ibadat yang terpuji”, atau “adab yang sempurna” dan sebagainya.

---(ooo)---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar