Selamat datang di blog saya, kalau anda ingin sukses berbisnis secara Islami silahkan baca artikel-artikel dibawah ini, semoga bermanfaat....

Jumat, 22 Mei 2009

Dibalik Sifat - Sifat Allah Sayyidina Ali K.W

Sayyidina Ali K.W
1. (Allah) Yang sifat-Nya tidak terbatasi oleh batasan tertentu, tidak dapat tergambarkan oleh ungkapan kata, tidak terikat oleh waktu, dan tidak ada waktu yang menyudahi-Nya. Dan kesempurnaan keikhlasan kepada-Nya adalah dengan menafikan segala sifat dariNya. Sebab, setiap, sifat adalah berlainan dengan yang disifati, dan setiap yang disifati bukanlah persarnaan dari sifat yang menyertainya. Maka, barangsiapa yang melekatkan suatu sifat kepada-Nya, berarti dia telah menyertakan sesuatu dengan-Nya.
2. Dialah Allah Yang Benar lagi Yang Merjelaskan (segala sesuatu menurut hakikat yang sebenarnya), Yang lebih benar dan lebihj elas daripada yang dilihat oleh mata. Dia tidak dapat dicapai oleh akal dengan pernbatasan, maka, tiadalah Dia dapat disamakan (dengan sesuatu). Tidak pula Dia ditimpa oleh waham. dengan perkiraan, maka Dia tidak dapat diserupakan. Tidak ada dalam keawalan-Nya permulaan, dan tidak ada dalam keazalian-Nya kesudahan (kesirnaan). Dialah Yang Awal dan senantiasa Awal (tidak berubah keadaan-Nya), dan Dia Mahakekal tanpa ada batas waktu (kematian). Dahi-dahi bersuJud kepada-Nya dan bibir-bibir pun mentauhidkan-Nya. Dia membatasi segala sesuatu saat penciptaannya, yang menjadi penjelas bagi kesamaannya.
3. Dia (Allah) tidak akan dapat dicapai oleh penglihatan mata, tetapi hati yang penuh dengan hakikat, keirnanan sajalah yang dapat mencapai-Nya. Dia Dekat dari segala hal tanpa sentuhan. Jauh tanpa adajarak. Berpikir tanpa perlu berpikir sebelumnya. Berkehendak tanpa keinginan. Berbuat tanpa mernerlukan tangan. Lembut namun tidak tersembunyi. Besar namun tidak kasar. Maha Melihat namun tidak bersifat inderawi. Dan Maha Penyayang namun tidak bersifat lunak.
4. Ya Allah, Engkaulah Pemilik sifat yang bagus dan penghitungan yang banyak. jika Engkau diharapkan, maka Engkau adalah sebaik-baik yang diharapkan. Dan jika Engkau dimintai (suatu pennohonan), maka Engkau adalah sebaik-baik yang dimintai.
5. Mahasuci Allah yang tidak dapat dicapai oleh angan-angan yang jauh, dan tidak dapat pula diraih oleh dugaan orang yang tajam pikirannya. Dialah Yang Awal yang tidak ada batas akhir bagi-Nya; dan tidak ada akhir bagi-Nya, maka Dia tidak akan sirna.
6. Dia (Allah) tidak pernah dilalui oleh masa, maka keadaan-Nya tidak pernah berbecla. Tidak pula Dia berada dalam suatu tempat yang menghar-uskan-Nya berpindah tempat. Dia Maha Mengetahui (segala) rahasia yang ada di dalarn hati yang tersembunyi, bisikan orang~ orang yang berbisik-bisik, dan kecenderungan seseorang dalarn hatinya.
7. Sesungguhnya Allah SWT tidak tersembunyi bagi-Nya apa yang diperbuat oleh hamba-hamba-Nya pada waktu malam mereka dan siang hari mereka. Dia Mahalembut lagi Maha Mengetahui dan Dia benar-benar meliputi segala sesuatu. Anggota-anggota tubuhmu adalah saksi-saksi-Nya dan tentara-tentara-Nya, hati kalian adalah mata-Nya, dan kesendirian kalian adalah pandangan-Nya.
8. Segala puj i bagi Allah Yang Awal, yang tidak ada sesuatu pun sebelum-Nya; Yang Akhir, yang tidak sesuatu pun setelah-Nya; Yang Dzahir, yang tidak ada sesuatu pun di atasnya; dan Yang Batin, yang tidak ada sesuatu pun di bawah-Nya. Ilmu-Nya menembus segala tirai batin kegaiban dan Meliputi segala kesamaran rahasia.

Introspeksi Sayyidina Ali K.W

1. Barangsiapa yang mengintrospeksi dirinya, maka dia telah beruntung dan barangsiapa yang lalai akan dirinya, maka dia telah merugi. Barangsiapa yang takut (akan siksa Allah), maka. dia akan aman (dari siksa-Nya). Barangsiapa yang mau mengambil pelajaran, maka dia akan terbuka pandangannya. Barangsiapa yang telah terbuka pandangannya, maka dia akan memahami. Dan barangsiapa yang telah memahami, maka dia akan mengetahui.
2. Semoga Allah merahmati seorang hamba yang takut kepada Tuhannya, menasihati dirinya, menyegerakan tobatnya, dan mengalahkan hawa nafsunya. Sebab, sesungguhnya ajalnya tersembunyi darinya, angan-angannya menipunya, sedangkan syetan menyertainya (berupaya menyesatkannya).
3. Sebaik-baik kehidupan adalah yang tidak menguasaimu dan tidak pula mengalihkan perhatianmu (dari mengingat Allah Ta’ala).
4. Ingatlah kalian akan berakhirnya segala kesenangan dan yang tersisa adalah pertanggungjawaban.
5. Amal-amal hamba terjadi dalam dunia ini, seimbang dengan perhitungannya kelak di akhirat.
6. Lihatlah wajahmu setiap waktu di cermin. jika wajahmu itu bagus, anggaplah ia buruk karena engkau menambahkannya dengan perbuatan. yang buruk, yang dengannya engkau telah memberi noda padanya. Dan jika (engkau dapati bahwa) wajahmu itu buruk, anggaplah. ia memang buruk karena engkau telah menggabungkan dua keburukan (buruk rupa dan amal).
1. Didiklah dirimu dengan apa yang engkau tidak suka pada orang lain.
2. Ketika seseorang mencela terhadap dirinya sendiri secara terang-terangan adalah diam-diam ia memuji dirinya.
3. Tidaklah kemaluanmu akan berzina jika engkau memejamkan pandanganmu.
4. Syetan setiap orang adalah (sepadan dengan keadaan) dirinya sendiri.

Renungan dibalik Makna Shalat

Sayyidina Ali K.W
1. Perbedaan antara seorang Mukmin dan kafir adalah shalat. Barang- siapa yang meninggalkannya, lalu dia mengaku sebagai Mukmin, maka perbuatannya itu telah mendustakannya, dan dirinya pun menjadi saksi akan hal itu.
2. Lakukanlah shalat subuh ketika hari masih gelap, niscaya (kelak) engkau akan bertemu dengan Allah Ta’ala dengan wajah yang putih.
3. Jagalah urusan shalat, peliharah ia, perbanyaklah mengerjakannya, dan dekatkanlah dirimu (kepada Allah) dengan sholat itu. Sebab, sesungguhnya shalat adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang yang beriman (QS 4:103). Apakah kalian tidak mendengarkan jawaban para penghuni neraka ketika mereka ditanya, 'Apakah yang memasukkan kamu kedalam Saqar(neraka)?" Merekan menjawab, "Kami dahulu tidak termasuk orang~orang yang mengerjakan shalat " (QS 74:42-43).
4. Aku pernah bertanya kepada Rasulullah saw. ketika beliau mengutusku ke Yaman, "Bagaimana aku harus mengimani mereka shalat (berjamaah)?" Maka, beliau menjawab, "Imamilah mereka shalat (berjamaah) seperti shalatnya orang yang paling lemah di antara mereka, dan jadilah orang yang amat penyayang terhadap orang-orang yang beriman."
5. Barangsiapa yang tidak mengambil persiapan shalat sebelum tiba waktunya, maka dia tidak menghormati shalat.

Do'a

Allah swt. berfirman:
“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan dalam kerahasiaan.” (Q.s. A-A’raf. 55).
“Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. “(Q.s. Al-Mu’min: 60).

Rasulullah saw telah bersabda:
“Doa adalah inti ibadat.” (H.r. Tirmidzi, dari Anas bin Malik).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata, “Doa adalah kunci bagi setiap kebutuhan. Doa adalah tempat beristirahat bagi mereka yang membutuhkan, tempat berteduh bagi yang terhimpit, kelegaan bagi perindu.”
Allah swt. menghinakan orang yang meninggalkan doa, dengan firman-Nya:
“Mereka menggenggamkan tangannya.” (Q.s. At Taubah: 67).
Ditafsirkan bahwa ayat ini bermakna, “Mereka tidak mengangkat tangan mereka dengan terbuka untuk berdoa kepada Kami.”

Sahl bin Abdullah menuturkan, “Allah swt. menciptakan makhluk dan berfirman, ‘Percayakanlah rahasia-rahasiamu kepada-Ku. Kalau tidak, maka melihatlah kepada-Ku. Kalau tidak, maka dengarkanlah Aku. Kalau tidak, maka menunggulah di depan pintu-Ku. Jika tak satu pun dari ini semua yang engkau lakukan, katakanlah kepada-Ku apa kebutuhan-Mu’.”

Sahl juga berkata, “Doa yang paling dekat untuk dikabulkan adalah doa seketika,” yang maksudnya adalah doa yang terpaksa dipanjatkan oleh seseorang dikarenakan kebutuhannya yang mendesak terhadap apa yang didoakannya.

Abu Abdullah al-Makanisy berkata, “Aku sedang bersama al Junayd ketika seorang wanita datang dan meminta kepadanya, `Berdoalah untukku agar Allah mengembalikan anakku kepadaku, karena dia telah hilang.”al-Junayd mengatakan kepadanya, `Pergilah, dan bersabarlah.’ Kemudian wanita itu berlalu, kemudian kembali lagi meminta al-Junayd agar berdoa lagi. al-Junayd menjawab, `Pergilah dan bersabarlah.’ Hal ini berlangsung berkali-kali, dan setiap kali al-Junayd mengatakan agar wanita itu bersabar. Akhirnya wanita itu berkata,
`Kesabaranku telah habis. Sudah tidak ada lagi sisa kesabaranku.’ Al-Junayd menjawab, `Jika demikian halnya, pulanglah sekarang, sebab anakmu telah kembali.’ Wanita itu pun pulang, dan menemukan anaknya.

Dia kembali kepada al-Junayd untuk mengucapkan terima kasih. Seseorang, bertanya kepada
al-Junayd, `Bagaimana engkau bisa tahu?’ Dia menjawab,
Allah swt. telah berfirman:
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila
ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan.’ (Q.s. An-Naml: 62).”

Orang berbeda pendapat mengenai mana yang lebih baik Berdoa ataukah berdiam diri dan bersikap ridha. Di antara mereka ada sebagian yang berkata, “Doa itu sendiri adalah ibadat, sebab Nabi saw telah bersabda, ‘Doa adalah otak ibadat.’ Adalah lebih balk melaksanakan apa pun yang merupakan amal ibadat daripada melewatkannya. Disamping itu, berdoa adalah hak Tuhan atas manusia. Kalaupun Dia tidak mengabulkan doa si hamba dan si hamba tidak memperoleh manfaat dengan doanya, namun sang hamba telah melaksanakan hak Tuhannya, sebab doa adalah ungkapan lahiriah kebutuhan penghambaan.”

Abu Hazim al-A’raj berkata, “Dihalangi berdoa adalah lebih menyedihkan hatiku daripada terhalangi untuk tidak dikabulkan.” Ada orang lain yang menegaskan , “Diam dan tidak berbuat apa-apa dalam menjalani ketetapan Tuhan adalah lebih sempurna daripada berdoa.

Bersikap ridha atas apa pun yang dipilih Allah untuk kita adalah lebih utama. Sehubungan dengan alasan ini, al Wasithy mengatakan, “Memilih apa yang telah ditetapkan bagimu dalam zaman azali adalah lebih balk bagimu daripada menentang keadaan yang ada sekarang.” Nabi saw bersabda, ‘Allah swt. berfirman dalam hadis Qudsi, Aku memberi kepada orang yang terlalu sibuk mengingat-Ku hingga tak sempat berdoa, lebih banyak daripada yang Kuberikan kepada mereka yang berdoa.”

Ada kelompok kaum yang berkata, “Si hamba harus berdoa dengan lidahnya, sementara pada saat yang sama dia juga bersikap ridha, dan dengan demikian menggabungkan keduanya itu.”
Pendapat yang lebih utama dalam hal ini adalah mengatakan bahwa waktu dan situasi itu berbeda-beda. Dalam situasi tertentu, doa adalah lebih baik daripada diam, yaitu sebagai perilaku adab seorang hamba. Sementara dalam keadaan lain, berdiam diri adalah lebih baik daripada doa, yaitu sebagai alasan adab pula.

Ini hanya bisa diketahui dalam waktu, karena pengetahuan mengenai waktu, jika seseorang mendapati hatinya condong untuk berdoa, maka berdoa adalah paling baik. Jika dia mendapati hatinya condong kepada berdiam diri, maka berdiam diri lebih baik.

Benar juga dikatakan bahwa tidaklah patut bagi si hamba untuk tidak mengabaikan penyaksian terhadap TuhannyaYang Maha Luhur ketika berdoa. Dia juga harus memberikan perhatian cermat kepada keadaan dirinya. Jika dia mengalami kelapangan yang meningkat dalam keadaan berdoanya, maka berdoa adalah paling baik baginya. Jika dia mengalami semacam kendala dan hatinya merasa sempit ketika berdoa, maka yang paling baik baginya adalah meninggalkan berdoa pada saat itu.

Jika dia tidak mengalami yang manapun dari kedua hal ini, maka terus berdoa ataupun meninggalkannya adalah sama saja baiknya. Jika kepeduliannya yang utama adalah pada keadaan ma’rifat dan berdiam diri, maka menghindari berdoa adalah lebih baik baginya. Dalam soal-soal yang menyangkut nasib kaum Muslimin atau yang berkaitan dengan kewajiban seseorang terhadap Allah, maka berdoa adalah lebih baik daripada tidak, tapi dalam perkara-perkara yang menyangkut kebutuhan diri sendiri, maka berdiam diri adalah lebih baik.

Dalam sebuah hadist disebutkan, ‘Apabila seorang hamba yang dicintai Allah berdoa, maka Allah berfirman, ‘Wahai Jibril, tundalah memenuhi kebutuhan hamba-Ku itu, karena Aku senang mendengarkan suaranya.’ Apabila seseorang yang tidak disukai Allah berdoa, Dia berfirman, ‘Wahai Jibril, penuhilah kebutuhan hamba-Ku itu, karena Aku tak suka mendengar suaranya’.”

Diceritakan bahwa Yahya bin Sa’id al-Qaththan bermimpi melihat Allah swt. dan ia berkata, “Wahai Tuhanku, betapa banyak kami telah berdoa kepadamu, tapi Engkau tidak mengabulkan doa kami!” Dia menjawab, “Wahai Yahya, itu karena Aku senang mendengarkan suaramu.”

Nabi saw menjelaskan:
“Demi Dia yang jiwaku berada di tangan-Nya, apabila seseorang yang dimurkai Allah berdoa, Dia akan menolaknya. Lalu orang itu berdoa lagi, akhirnya Allah swt. berfirman kepada para malaikat-Nya, ‘Hamba-Ku menolak untuk berdoa kepada selain pada Ku, makaAku pun mengabulkan doanya’.” (H.r. Ali r.a, dan dikeluarkan oleh al-Hakim).

Al-Hasan meriwayatkan dari Anas bin Malik r.a. yang menuturkan, “Pada masa Nabi saw, ada seorang laki-laki yang berdagang antara Syam dan Madinah serta dari Madinah ke Syam. Dia biasa bepergian, tanpa bergabung dengan kafilah-kafilah demi tawakkal kepada Allah swt. Sekali waktu, ketika dia bepergian dari Syam ke Madinah, seorang penyamun mencegatnya dan berkata kepadanya, `Berhenti!’ Pedagang itu pun berhenti dan berkata kepada si penyamun, Ambillah barang-barangku tapi janganlah kau rintangi jalanku!’ Si penyamun menjawab, `Urusan harta bukan urusanku, tapi dirimulah yang kukehendaki.’ Maka pedagang itu menjawab, Apa yang kau kehendaki dariku, bukankah urusanmu itu hartaku? Ambillah barang-barang itu dan enyahlah!’ Si penyamun mengulangi apa yang telah dikatakannya. Si pedagang berkata, `Tunggulah sampai aku berwudhu dan berdoa kepada Tuhanku.’ Maka si pedagang pun bangkit, berwudhu, lalu shalat empat rakaat. Setelah itu dia mengangkat tangannya ke langit dan berdoa, `Wahai Yang Maha Penyayang, wahai Yang Maha Penyayang, wahai Pemilik Arasy yang Agung, wahai Yang dari-Nya segala sesuatu berasal dan kepada-Nya segala sesuatu kembali, wahai Yang Maha melakukan apa yang dikehendaki-Nya, aku memohon kepada-Mu dengan cahaya Wajah-Mu yang memenuhi segenap penjuru `Arasy-Mu, aku memohon kepada-Mu dengan kekuasaan yang dengannya Engkau memerintah makhluk-Mu, dan dengan kasih sayang-Mu, tidak ada Tuhan selain Engkau, wahai Maha Penolong, tolonglah aku!’

Diucapkannya doa itu tiga kali. Ketika dia selesai berdoa, tiba-tiba muncullah seorang penunggang kuda yang berwarna abu-abu dan berpakaian hijau dengan memegang tombak yang terbuat dari cahaya. Ketika si penyamun melihat pengendara kuda itu, ditinggalkannya si pedagang dan disongsongnya si pengendara kuda itu.
Ketika sudah dekat,
si penunggang kuda itu menyerang si penyamun sehingga si penyamun terlempar dari atas kudanya. Kemudian penunggang kuda mendatangi
si pedagang dan memerinahkan, bunuhlah dia!’ Namun
si pedagang itu balik berkata, `Siapa Anda? Aku tak pernah membunuh seseorang, dan diriku tak layak membunuhnya.’

Lalu penunggang kuda itu menuju si penyamun langsung membunuhnya. Kemudian datang pada si pedagang, sambil memberitahu, itu adalah seorang malaikat dari langit ketiga. Ketika engkau berdoa Untuk pertama kalinya, kami mendengar bunyi gaduh di pintu gerbang langit. Kami berkata, `Sebuah kejahatan telah terjadi.’ Ketika engkau berdoa’untuk kedua kalinya, pintu langit terbuka dan terlihat seberkas nyala api. Ketika engkau berdoa untuk ketiga kalinya, Jibril as. turun ke langit kami dan berteriak, `Siapakah yang mau menolong orang yang tertekan itu? Aku memohon kepada Allah swt. agar diizinkan membunuh penyamun itu. Ketahuilah, wahai hamba Allah, bahwa Allah akan memberikan kelapangan dan pertolongan kepada siapa saja yang berdoa dengan doamu tadi pada setiap saat yang penuh tekanan, malapetaka dan keputus-asaan.’

Setelah itu si pedagang melanjutkan perjalanannya dengan aman sampai ke Madinah dan pergi menemui Nabi saw serta menceritakan kisahnya kepada beliau, juga tentang doa yang diucapkannya. Nabi saw bersabda kepadanya, Allah telah mengilhamimu dengan Nama-nama-Nya yang paling indah, yang jika disebutkan dalam doa, niscaya
Dia akan mengabulkannya. Jika Dia dimohon dengan Nama-nama itu, Dia akan menganugerahkannya’.”
Di antara etika berdoa adalah adanya kehadiran hati. Berdoa tak boleh dilakukan dengan hati yang lalai. Diriwayatkan bahwa Nabi saw telah bersabda:
”Sesungguhnya Allah swt. tidak akan menjawab doa seorang hamba yang hatinya alpa.” (H.r. Tirmidzi dan Ahmad). Persyaratan lain adalah bahwa makanan si hamba haruslah diperoleh secara halal. Nabi saw menegaskan: “Perbaikilah kerjamu, niscaya doamu dikabulkan. “
(H.r. Thabrani).

Dikatakan, “Doa adalah kunci bagi kebutuhan seseorang, dan gerigi kunci tersebut adalah makanan yang halal.”
Yahya bin Mu’adz mengatakan, “Tuhanku, aku seorang pendosa; bagaimana aku bisa berdoa kepada-Mu? Bagaimana aku tidak akan berdoa kepada-Mu, sedang Engkau Maha Pemurah?”
Diceritakan bahwa Musa as. berjalan melewati seorang laki-lak:i yang sedang berdoa dengan rendah hati kepada Allah. Musa berkata, “Ya Allah, seandainya kebutuhannya ada dalam tanganku, niscaya akan
kupenuhi doanya.” Allah swt. mewahyukan kepada Musa, ‘Aku lebih pengasih kepadanya daripadamu. Dia memang berdoa kepada-Ku, tapi hatinya terpaut pada domba-dombanya. Sedang Aku tidak akan mengabulkan doa seorang hamba-Ku yang hatinya terpaut pada selain Aku.”Ketika Musa mengatakan kepada orang itu apa yang diwahyukan Allah swt. kepadanya itu, dia segera memalingkan hatinya dengan penuh perhatian kepada Allah swt, dan urusannya pun selesai.

Seseorang bertanya kepada Ja’far ash-Shadiq, “Apa sebabnya, kita berdoa tetapi tidak pernah dikabulkan?” Beliau menjawab, “Itu karena engkau berdoa kepada Tuhan yang engkau tak punya pengetahuan tentang-Nya.”

Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan, “Ya’qub bin Layts ditimpa penyakit yang membuat para dokter tidak berdaya. Mereka lalu berkata kepadanya, `Di negeri tuan ada seorang laki-laki saleh bernama Sahl bin Abdullah. Jika dia berdoa untuk tuan, niscaya Allah swt. akan mengabulkan doanya.’ Ya’qub pun lalu mengundang Sahl dan memerintahkan, `Berdoalah kepada Allah untukku.’ Sahl berkata, `Bagaimana doaku untukmu akan dikabulkan, sedangkan engkau berlaku zalim kepada orang banyak di dalam penjaramu?’ Maka Ya’qub lalu melepaskan semua orang yang ada dalam penjaranya. Sahl lalu berdoa, `Ya Allah, sebagaimana Engkau telah memperlihatkan kepadanya hinanya ketidakpatuhan kepada-Mu dengan menyembuhkan penyakitnya.’Ya’qub bin Layts lalu sembuh. Dia mencoba memberi Sahl harta kekayaan, tetapi Sahl menolak.

Seseorang berkata kepada Sahl, `Jika saja engkau mau menerimanya, engkau bisa memberikannya kepada orang miskin.’ Beberapa waktu kemudian, saat Sahl sedang memandangi kerikil-kerikil di padang pasir, kerikil-kerikil itu tiba-tiba berubah menjadi batu-batu permata. Dia bertanya kepada para sahabatnya, Apa perlunya bagi orang yang telah diberi anugerah seperti ini, menerima harta kekayaan dariYa’qub bin al-Layts’?”

Diceritakan bahwa Salih al-Marry sering menegaskan, “Barang siapa yang gigih mengetuk pintu, berarti sudah dekat saat terbukanya pintu itu baginya.” Rabi’ah Adawiyah bertanya kepadanya, “Sampai kapan engkau akan mengatakan begitu? Kapankah pintu itu tertutup hingga orang terpaksa memintanya agar dibuka?” Salih menjawab, “Seorang laki-laki yang sudah tua tak tahu akan kebenaran, dan seorang wanita mengetahuinya!”

As-Sary berkata, “Suatu ketika aku menghadiri pengajian Ma’ruf al-Karkhy. Seorang laki-laki datang kepadanya dan meminta, `Wahai Abu Mahfudz, berdoalah kepada Allah untukku, agar Dia mengembalikan kantongku. Kantong itu dicuri orang; isinya uang seribu dinar.’ Ma’ruf tetap diam. Untuk ketiga kalinya orang itu mengulangi permintaannya. Kemudian Ma’ruf menjawab, Apa yang harus kukatakan? Kukatakan, apa yang telah kuriwayatkan dari Nabi-nabi-Mu dan Wali-wali-Mu yang suci? ’ Kemudian Ma’ruf mengembalikan kepada-Nya. Tapi orang itu tetap mendesak, `Berdoalah kepada Allah untukku.’ Ma’ruf pun bedoa, `Ya Allah, pilihkanlah apa yang paling baik baginya’.”

Diriwayatkan bahwa al-Layts berkata, “Suatu ketika aku melihat Uqbah bin Nafi’ dan dia dalam keadaan buta. Kemudian aku bertemu dengan dia lagi, sedang matanya bisa melihat. Aku bertanya kepadanya , `Bagaimana penglihatanmu bisa pulih kembali?’ Dia menjawab, bahwa dalam mimpinya ada suara berseru, `Katakanlah, wahai Yang Maha Dekat, wahai Yang Maha Mengabulkan, wahai Yang Mendengarkan doaku, wahai Yang Maha Baik dalam kehendak-Nya,
kembalikanlah penglihatanku.’ Kuulangi doa ini dan Allah swt. lalu mengembalikan penglihatanku’.”

Syeikh Abu All ad-Daqqaq berkata, “Aku menderita sakit yang parah di mataku ketika untuk pertama kalinya aku kembali dari Marw ke Naisabur. Sudah agak lama aku tak bisa tidur. Suatu pagi aku tertidur lelap dan kudengar seseorang bertanya kepadaku, ‘Tidakkah Allah mencukupi bagi hamba-Nya?’ (Q.s. Az-Zumar: 36).
Aku terbangun dan kudapati penyakitku telah hilang dari mataku dan rasa sakitnya pun telah berhenti. Sesudah itu aku tak pernah lagi menderita sakit mata lagi.”

Diceritakan bahwa Muhammad bin Khuzaymah berkata, “Aku sedang berada di Iskandariyah ketika Ahmad bin Hanbal meninggal dunia. Aku betul-betul merasa sedih, hingga aku bermimpi bertemu dengan Ahmad bin Hanbal. Kulihat dia sedang melenggang. Aku bertanya, `Wahai Abu Abdullah, gerakan apa ini?’ Dia menjawab, `Ini adalah cara bergerak hamba-hamba di Rumah Kedamaian.’

Aku bertanya, “Apa yang telah diperbuat Allah kepadamu?” Dia menjawab, `Dia telah mengampuniku, menempatkan sebuah mahkota di atas kepalaku, dan memberiku sepasang sandal emas untuk kupakai.
Allah berfirman kepadaku, ‘Wahai Ahmad, semua ini karena engkau telah menjaga al-Qur’an sebagai firman-Ku.’Kemudian Dia berfirman, ‘Wahai Ahmad, berdoalah kepada-Ku dengan kata-kata yang engkau terima dari Sufyan ats-Tsaury, yang dulu engkau ucapkan waktu engkau masih hidup.’ Maka aku pun berdoa, `Wahai Tuhan semesta, dengan kekuasan-Mu atas segala sesuatu, ampunilah segala dosaku dan janganlah Engkau tanyai aku tentang sesuatu pun.’

Kemudian Allah mempermaklumkan, ‘Wahai Ahmad, inilah surga. Masuklah!’ Lalu aku pun masuk’.”
Suatu hari, ada seorang pemuda yang memegang kain penutup Ka’bah dan berkata, “Tuhanku, tak ada seorang pun yang mesti didekati selain Engkau, tidak pula ada seorang perantara yang bisa disuap. Jika aku mematuhi-Mu, itu adalah karena limpahan rahmat-Mu, dan segala puji adalah bagi-Mu. Jika aku menentang-Mu, itu adalah karena kejahilan dan kesombonganku. Engkau punya argumentasi yang tak terbantah terhadap diriku melalui bukti-Mu terhadap diriku dan melalui ketiadaan argumentasiku terhadap-Mu, kecuali jika Engkau mengampuniku.”

Kemudian dia mendengar sebuah suara batin yang berseru, “Anak muda ini telah dibebaskan dari neraka.”
Dikatakan, “Manfaat doa adalah menampakkan kebutuhan di sisi-Nya. Jika doa tidak dilakukan, Allah swt. akan melakukan apa yang dikehendakiNya.”
Dikatakan juga, “Doa awam dilakukan dengan ucapan, doa kaum zahid dilakukan dengan tindakan, dan doa kaum ‘arifin dilakukan dengan ihwal hati.”
Juga dikatakan, “Doa terbaik adalah doa yang dikobarkan dengan kesedihan.”

Salah seorang Sufi menyatakan, “Jika engkau berdoa kepada Allah swt. agar dianugerahi sesuatu dan doamu dikabulkan maka berdoalah, siapa tahu saat itulah memang saat dikabulkannya doamu.”

Dikatakan, “Lidah kaum pemula terucap lewat doa, namun lidah mereka yang telah mencapai hakikat terbelenggu dalam kebisuan.” `
Ketika al-Wasithy diminta berdoa, dia menjawab, “Aku takut bahwa jika aku berdoa, Allah swt. akan berfirman kepadaku,
‘Jika engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang telah ditetapkan untukmu,’ berarti engkau meragukan Aku. Jika engkau memohon kepada-Ku sesuatu yang tidak ditetapkan bagimu, berarti engkau tidak memuji-Ku sebagaimana seharusnya. Namun jika engkau bersikap ridha terhadap keputusan-Ku, Aku akan memberikan anugerah lebih dari harapanmu’.”

Diriwayatkan bahwa Abdullah bin Mubarak berkata, “Sudah limapuluh tahun aku tidak berdoa, dan aku tidak menginginkan orang lain berdoa untukku.”

Dikatakan, “Doa adalah tangga bagi orang-orang yang berdosa.”
Dikatakan juga, “Doa adalah saling bertukar pesan. Selama kedua pihak tetap bertukar demikian, semuanya akan baik.”
Dikatakan, “Orang-orang yang berdosa mengucapkan doa dengan air mata.”

Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan, “Jika seorang berdosa menangis, berarti dia telah membuka hubungan dengan Allah swt.” Tentang hal ini, para Sufi bersyair berikut:
Air mata pemuda mengungkapkan apa yang disembunyikan;
Nafasnya menjelaskan hati
yang menyembunyikan rahasia.

Salah seorang Sufi menyatakan, “Berdoa berarti meninggalkan dosa-dosa.”
Dikatakan, “Doa adalah cara seorang pencinta mengungkapkan kerinduaanya.”
Dikatakan, “Diizinkan berdoa, lebih baik dari anugerah.”
Al-Kattany menyatakan, “Allah swt. tidak menganugerahkan kaum beriman, untuk rnengungkapkan rasa bersalah, kecuali untuk membuka pintu kemaafan.”

Dikatakan juga, “Berdoa menyebabkan engkau hadir di hadirat Allah swt, sedang dikabulkannya doamu menjadikan engkau berpaling menjauh. Dan berdiri saja di pintu, lebih baik daripada pergi dengan membawa balasan.”
Dikatakan, “Doa berarti menghadap Allah swt. dengan ungkapan rasa malu.”
Dikatakan, “Satu prasyarat doa adalah bertumpu pada keputusan Allah swt. bersama ridha.”
Dikatakan pula, “Bagaimana engkau akan menunggu ijabah doa, sedang engkau menghalangi jalannya dengan melakukan dosa-dosa?”
Seseorang meminta kepada salah seorang Sufi agar didoakan: “Doa-kan aku.” Dijawab, “Engkau cukup dengan Allah swt. daripada unsur lain yang kau jadikan perantara antara dirimu dengan Diri-Nya.”

Abdurrahman bin Ahmad berkata, “Aku mendengar ayahku menceritakan bahwa seorang wanita datang kepada Taqy bin Mukhlad dan mengatakan kepadanya, `Orang-orang Byzantium telah menawan anakku. Aku tak punya apa-apa lagi di rumahku selain anakku itu. Aku juga tidak bisa menjual rumahku. Jika saja tuan bisa membawa saya kepada seseorang yang bisa menebusnya, sebab saya sudah tak tahu lagi mana siang mana malam. Saya tidak bisa tidur ataupun beristirahat.’ Taqy berkata kepadanya, `Baiklah, pergilah sampai aku melihat masalah ini, Insya Allah.’ Kemudian syeikh itu menundukkan kepalanya dan menggerak-gerakkan bibirnya. Kami menunggu beberapa saat lamanya. Kemudian wanita itu datang lagi bersama anaknya dan berseru kepada syeikh tersebut, Anakku telah kembali dengan selamat, dan dia punya cerita untuk tuan.’

Anaknya itu lalu mengisahkan, `Saya sedang berada dalam tawanan seorang pangeran Byzantium bersama dengan sekelompok tawanan. Sang panrgeran menugaskan seseorang untuk menyuruh kami bekerja setiap hari. Orang itu membawa kami kembali dari bekerja setelah matahari terbenam dengan dikawal oleh orang itu. Tiba-tiba rantai yang mengikat saya terputus dan jatuh dari kaki saya.’

Anak muda itu menyebutkan hari dan saat di mana peristiwa itu terjadi, dan saat itu adalah persis ketika wanita itu mendatangi Syeikh Taqy saat beliau berdoa. Si pemuda melanjutkan ceritanya:
`Pengawal memukul saya dan berteriak, `Engkau telah memutuskan rantai ini!’ Saya berkata, `Tidak, ia jatuh sendiri dari kaki saya!’

Orang itu kebingungan dan tak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia memanggil teman-temannya, lalu memanggil seorang pandai besi. Mereka lalu merantai saya lagi. Tapi begitu saya berjalan beberapa langkah, rantai itu terlepas lagi dari kaki saya. Mereka tercengang dan kemudian memanggil para pendeta mereka. Para pendeta itu bertanya kepada saya, “Apakah engkau punya ibu?” Saya katakan, `Ya.’ Mereka lalu berkata, `Doa ibumu telah dikabulkan. Allah swt. telah membebaskanmu. Kami tak bisa lagi merantaimu.’ Kemudian mereka memberi saya makanan dan bekal lalu menyuruh seorang pengawal mengantarkan saya sampai ke daerah kaum Muslimin’.”

Gerbang Cinta Para Wali

Ada cahaya yang memendar nun jauh di sana. Tak habis-habisnya mata memandang penuh pesona. Indah dan menakjubkan, hingga tiada sesaat pun melainkan sebuah klimaks dari puncak rasa kita, terkadang seperti puncak gelombang Cinta, terkadang menghempas seperti sauh-sauh kesadaran di hempas pantai, terkadang begitu jauh di luar batas harapan, padahal ia lebih dekat dari sanubari kita sendiri.

Tiba-tiba cahaya itu ada di depan mata hati kita. Ternyata sebuah gerbang keagungan yang dahsyat penuh kharisma. Gerbang itu seakan bicara: “Akulah gerbang para kekasih Tuhan”. Sejengkal saja kaki kita melangkah, memasuki pintu gerbang itu, seluruh kesadaran kita sirna dalam luapan gelombang cinta yang digerakkan oleh kedahsyatan angin kerinduan. Kata pertama yang berbunyi di sana adalah deretan puja dan puji:

“Segala puji bagi Allah yang telah meluapi lembah kalbu para wali-Nya dengan luapan Cinta kepada-Nya. Dia yang membangunkan istana khusus agar luapan arwah para kekasih-Nya itu, senantiasa menyaksikan keagungan-Nya. Dia pula yang menghamparkan padang ma’rifatullah melalui rahasia-rahasia jiwanya. Lalu kalbunya berada di sebuah taman surga. Taman itu penuh dengan lukisan-lukisan ma’rifatullah yang tiada tara. Sedangkan arwah-arwah mereka berada di Taman Malakut, tak sejenak pun arwah itu melainkan berada dalam keabadian penyucian pada-Nya. Duh, rahasia arwahnya, mendendangkan tasbih dalam tarian Lautan Jabarut-Nya.”

Lalu sebuah gerbang yang begitu agung dan indahnya, mengukirkan prasasti yang ditulis oleh Qalam Ruhani. “Segala Puja bagi Allah, yang telah membuka gerbang Cinta-Nya bagi para Kekasih-Nya. Lalu Dia mengurai rantai yang membelenggu jiwanya, sehingga mereka teguh dalam keharusan khidmah pada-Nya, sedangkan cahaya-cahaya-Nya melimpahi akal-akal mereka. Lalu tampak jelas, keajaiban-keajaiban kekuasaan-Nya, sedangkan kalbu-kalbu mereka terjaga dari haru biru tipudaya yang menumpah pada pesona-pesona cetak lahiriyah jagad semesta, sampai akhirnya menggapai ma’rifat paripurna. Amboi, ruh-ruh mereka tersingkapkan dari kemahasucian paripurna-Nya, dan sifat-sifat keagungan-Nya. Merekalah penempuh jalan hadirat-Nya, dalam kenikmatan rahasia kedekatan dengan-Nya, melalui tarekat dahsyat rindu dendam-Nya, hingga mereka termanifestasi dalam hakikat, melalui penyaksian Ketunggalan-Nya. Mereka telah diraih dari mereka, dan Dia menyirnakan mereka dari mereka, lalu mereka ditenggelamkan dalam lautan Kemaha-Dia-an-Nya. Dia memisahkan pasukan-pasukan terpencar dalam kesatuan kitab-Nya bagi para kekasih terpilih-Nya. Lalu mereka terjaga oleh kerahasiaan jiwa melalui limpahan cahaya-cahaya, agar ia menjadi obyek manifestasi, di samping ke-Tunggal-Dirian-Nya.”

Kalau saja kita ingin mengenal gerbang-gerbang Kekasih Allah itu, semata bukanlah hasrat dan ambisi untuk menjadi Kekasih-Nya. Sebab, mengangkat derajat seseorang menjadi Kekasih-Nya adalah Hak Allah, dan Allah sendiri yang memberi Wilayah itu kepada hamba-Nya yang dikehendaki-Nya.

Sekadar berkah atas cahaya kewalian dari kekasih-kekasih-Nya itu, sesungguhnya lebih dari cukup bagi kita. Sedangkan pengetahuan kita atas dunia kewalian yang menjadi bagian dari misteri-misteri Ilahi, tidak lebih dari limpahan-limpahan Ilahi, agar kita lebih yakin kepada-Nya atas keimanan kita selama ini.

Para Auliya Allah adalah Ahlullah. Mereka terpencar di muka bumi sebagai “tanda-tanda” Ilahiyah, dengan jumlah tertentu, dan tugas-tugas tertentu. Di antara mereka ada yang ditampakkan karamahnya, ada pula yang tidak ditampakkan sama sekali. Oleh karena itu hamba-hamba Allah yang diberi kehebatan luar biasa, tidak sama sekali disebut Waliyullah, dan belum tentu juga yang tidak memiliki kelebihan sama sekali, tidak mendapat derajat Wali Allah. Para Auliya adalah mereka yang senantiasa mencurahkan jiwanya untuk Ubudiyah kepada Allah, dan menjauhkan jiwanya dari kemaksiatan kepada Allah.

Di masyarakat kita, seringkali terjebak oleh fenomena-fenomena metafisikal yang begitu dahsyat yang muncul dari seseorang. Lalu masyarakat kita mengklaim bahwa orang tersebut tergolong Waliyullah. Padahal kata seorang syekh sufi, “Jika kalian melihat seseorang bisa terbang, bisa menembus batas geografis dengan cepat, bahkan bisa menembus waktu yang berlalu dan yang akan datang, janganlah Anda anggap itu seorang Wali Allah sepanjang ia tidak mengikuti Sunnah Rasulullah SAW.“

Mengapa? Sebab ada ilmu-ilmu hikmah tertentu yang bisa dipelajari, agar seseorang memiliki kehebatan tertentu di luar batas ruang dan waktu, dan ironisnya ilmu demikian disebut sebagai Ilmu Karamah. Padahal karamah itu, adalah limpahan anugerah Ilahi, bukan karena usaha-usaha tertentu dari hamba Allah.

Karamah sendiri bukanlah syarat dari kewalian. Kalau saja muncul karamah pada diri seorang wali, semata hanyalah sebagai petunjuk atas kebenaran ibadahnya, kedudukan luhurnya, namun dengan syarat tetap berpijak pada perintah Nabi SAW. Jika tidak demikian, maka karamah hanyalah kehinaan syetan. Karena itu di antara orang-orang yang saleh ada yang mengetahui derajat kewaliannya, dan orang lain tahu. Ada pula yang tidak mengetahui derajat kewaliannya sendiri, dan orang lain pun tidak tahu. Bahkan ada orang lain yang tahu, tetapi dirinya sendiri tidak tahu.

Tetapi di belahan ummat Islam lain juga ada yang menolak konsep kewalian. Bahkan dengan mudah mengklaim yang disebut Auliya’ itu seakan-akan hanya derajat biasa dari derajat keimanan seseorang. Tentu saja, kelompok ini sama kelirunya dengan kelompok mereka yang menganggap seseorang, asal memiliki kehebatan, lalu disebut sebagai Waliyullah, apalagi jika orang itu dari kalangan kiai atau ulama.

Meluruskan pandangan Kewalian di khalayak ummat kita, memang sesuatu yang rumit. Ada ganjalan-ganjalan primordial dan psikologis, bahkan juga ganjalan intelektual.

Al-Quthub Abul Abbas al-Mursi, semoga Allah meridlainya, menegaskan dalam kitab yang ditulis oleh muridnya, Lathaiful Minan, karya Ibnu Athaillah as-Sakandari, “Waliyullah itu diliputi oleh ilmu dan ma’rifat-ma’rifat, sedangkan wilayah hakikat senantiasa disaksikan oleh mata hatinya, sehingga ketika ia memberikan nasehat seakan-akan apa yang dikatakan seperti identik dengan izin Allah. Dan harus dipahami, bagi siapa yang diizinkan Allah untuk meraih ibarat yang diucapkan, pasti akan memberikan kebaikan kepada semua makhluk, sementara isyarat-isyaratnya menjadi riasan indah bagi jiwa-jiwa makhluk itu.”

“Dasar utama perkara Wali itu,” kata Abul Abbas, “adalah merasa cukup bersama Allah, menerima Ilmu-Nya, dan mendapatkan pertolongan melalui musyahadah kepada-Nya. Allah Ta’ala berfirman: “Barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia-lah yang mencukupinya.” (QS. ath-Thalaq: 3). “Bukankah Allah telah mencukupi hambanya?” (QS. Az-Zumar: 36). “Bukankah ia tahu, bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Tahu?” (QS. al-‘Alaq :14). “Apakah kamu tidak cukup dengan Tuhanmu, bahwa sesungguhnya Dia itu Menyaksikan segala sesuatu?” (QS. Fushshilat: 53).
Syekh Agung Abdul Halim Mahmud dalam memberikan catatan khusus mengenai Lathaiful Minan karya as-Sakandari mengupas panjang lebar mengenai Kewalian ini. Hal demikian dilakukan karena, as-Sakandari menulis kitab itu memulai tentang wacana Kewalian, karena memang, buku besar itu ingin mengupas tuntas tentang biografi dua Waliyullah terbesar sepanjang zaman, yaitu Sulthanul Auliya’ Syekh Abul Hasan asy-Syadzili ra dan muridnya, Syekh Abul Abbas al-Mursi.

Dalam sebuah ayat yang seringkali menjadi rujukan utama dunia Kewalian adalah: “Ingatlah bahwa sesungguhnya para Wali-wali Allah itu tidak punya rasa takut dan rasa gelisah. Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka bertaqwa. Mereka mendapatkan kegembiraan dalam kehidupan dunia dan dalam kehidupan akhirat. Tidak ada perubahan bagi Kalimat-kalimat Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.” (QS. Yunus: 62-64)
Dalam salah satu hadits Qudsi yang sangat populer disebutkan, “Rasulullah SAW bersabda: Allah Ta’ala berfirman: “Siapa yang memusuhi Wali-Ku, maka benar-benar Aku izinkan orang itu untuk diperangi. Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku yang lebih Aku cintai dibanding apa yang Aku wajibkan padanya. Dan hamba-Ku itu senantiasa mendekatkan pada-Ku dengan ibadah-ibadah Sunnah sehingga Aku mencintai-Nya. Maka bila Aku mencintainya, Akulah pendengarannya di mana ia mendengar, dan menjadi matanya di mana ia melihat, dan menjadi tangannya di mana ia memukul, dan menjadi kakinya di mana ia berjalan. Jika ia memohon kepada-Ku, Akupasti memberinya, jika ia memohon perlindungan kepadaKu Aku pasti melindunginya.”

Karenanya al-Hakim at-Tirmidzi, salah satu sufi besar generasi abad pertengahan, menulis kitab yang sangat monumental hingga saat ini, Khatamul Auliya’ (Tanda-tanda Kewalian), yang di antaranya berisi 156 pertanyaan mengenai dunia sufi, dan siapa yang bisa menjawabnya, maka ia akan mendapatkan Tanda-tanda Kewalian itu. Beliau juga menulis kitab ‘Ilmul Auliya.

Ragam Para Wali
Para Syekh Sufi membagi macam para Wali dengan berbagai versi, termasuk derajat masing-masing di hadapan Allah Ta’ala. Dalam kitab Al-Mafakhirul Aliyah fi al-Ma’atsir asy-Syadzilyah disebutkan ketika membahas soal Wali Quthub. Syekh Syamsuddin bin Katilah Rahimahullaahu Ta’ala menceritakan: “Saya sedang duduk di hadapan guruku, lalu terlintas untuk menanyakan tentang Wali Quthub. “Apa makna Quthub itu wahai tuanku?” Lalu beliau menjawab, “Quthub itu banyak. Setiap muqaddam atau pemuka sufi bisa disebut sebagai Quthub-nya.

Sedangkan al-Quthubul Ghauts al-Fard al-Jami’ itu hanya satu. Artinya bahwa Wali Nuqaba’ itu jumlahnya 300. Mereka itu telah lepas dari rekadaya nafsu, dan mereka memiliki 10 amaliyah: empat amaliyah bersifat lahiriyah, dan enam amaliyah bersifat bathiniyah. Empat amaliyah lahiriyah itu antara lain:

1) Ibadah yang banyak, 2) Melakukan zuhud hakiki, 3) Menekan hasrat diri, 4) Mujahadah dengan maksimal. Sedangkan lelaku batinnya: 1) Taubat, 2) Inabat, 3) Muhasabah, 4) Tafakkur, 5) Merakit dalam Allah, 6) Riyadlah. Di antara 300 Wali ini ada imam dan pemukanya, dan ia disebut sebagai Quthub-nya.

Sedangkan Wali Nujaba’ jumlahnya 40 Wali. Ada yang mengatakan 70 Wali. Tugas mereka adalah memikul beban-beban kesulitan manusia. Karena itu yang diperjuangkan adalah hak orang lain (bukan dirinya sendiri). Mereka memiliki delapan amaliyah: empat bersifat batiniyah, dan empat lagi bersifat lahiriyah: Yang bersifat lahiriyah adalah 1) Futuwwah (peduli sepenuhnya pada hak orang lain), 2) Tawadlu’, 3) Menjaga Adab (dengan Allah dan sesama) dan 4) Ibadah secara maksimal. Sedangkan secara Batiniyah, 1) Sabar, 2) Ridla, 3) Syukur), 4) Malu.

Adapun Wali Abdal berjumlah 7 orang. Mereka disebut sebagai kalangan paripurna, istiqamah dan memelihara keseimbangan kehambaan. Mereka telah lepas dari imajinasi dan khayalan, dan mereka memiliki delapan amaliyah lahir dan batin. Yang bersifat lahiriyah: 1) Diam, 2) Terjaga dari tidur, 3) Lapar dan 4) ‘Uzlah. Dari masing-masing empat amaliyah lahiriyah ini juga terbagi menjadi empat pula: Lahiriyah dan sekaligus Batiniyah:
Pertama, diam, secara lahiriyah diam dari bicara, kecuali hanya berdzikir kepada Allah Ta’ala. Sedangkan Batinnya, adalah diam batinnya dari seluruh rincian keragaman dan berita-berita batin. Kedua, terjaga dari tidur secara lahiriyah, batinnya terjaga dari kealpaan dari dzikrullah. Ketiga, lapar, terbagi dua. Laparnya kalangan Abrar, karena kesempurnaan penempuhan menuju Allah, dan laparnya kalangan Muqarrabun karena penuh dengan hidangan anugerah sukacita Ilahiyah (uns). Keempat, ‘uzlah, secara lahiriyah tidak berada di tengah keramaian, secara batiniyah meninggalkan rasa suka cita bersama banyak orang, karena suka cita hanya bersama Allah.

Amaliyah Batiniyah kalangan Abdal, juga ada empat prinsipal: 1) Tajrid (hanya semata bersama Allah), 2) Tafrid (yang ada hanya Allah), 3) Al-Jam’u (berada dalam Kesatuan Allah, 3) Tauhid.

Ragam lain dari para Wali ada yang disebut dengan Dua Imam (Imamani), yaitu dua pribadi, salah satu ada di sisi kanan Quthub dan sisi lain ada di sisi kirinya. Yang ada di sisi kanan senantiasa memandang alam Malakut (alam batin) -- dan derajatnya lebih luhur ketimbang kawannya yang di sisi kiri --, sedangkan yang di sisi kiri senantiasa memandang ke alam jagad semesta (malak). Sosok di kanan Quthub adalah Badal dari Quthub. Namun masing-masing memiliki empat amaliyah Batin, dan empat amaliyah Lahir. Yang bersifat Lahiriyah adalah: Zuhud, Wara’, Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar. Sedangkan yang bersifat Batiniyah: Kejujuran hati, Ikhlas, Mememlihara Malu dan Muraqabah.

Wali lain disebut dengan al-Ghauts, yaitu seorang tokoh agung dan tuan mulia, di mana seluruh ummat manusia sangat membutuhkan pertolongannya, terutama untuk menjelaskan rahasia hakikat-hakikat Ilahiyah. Mereka juga memohon doa kepada al-Ghauts, sebab al-Ghauts sangat diijabahi doanya. Jika ia bersumpah langsung terjadi sumpahnya, seperti Uwais al-Qarni di zaman Rasul SAW. Dan seorang Qutub tidak bisa disebut Quthub manakala tidak memiliki sifat dan predikat integral dari para Wali.

Al-Umana’, juga ragam Wali adalah kalangan Malamatiyah, yaitu mereka yang menyembunyikan dunia batinnya, dan tidak tampak sama sekali di dunia lahiriyahnya. Biasanya kaum Umana’ memiliki pengikut Ahlul Futuwwah, yaitu mereka yang sangat peduli pada kemanusiaan.
Al-Afraad, yaitu Wali yang sangat spesial, di luar pandangan dunia Quthub.

Para Quthub senantiasa bicara dengan Akal Akbar, dengan Ruh Cahaya-cahaya (Ruhul Anwar), dengan Pena yang luhur (Al-Qalamul A’la), dengan Kesucian yang sangat indah (Al-Qudsul Al-Abha), dengan Asma yang Agung (Ismul A’dzam), dengan Kibritul Ahmar (ibarat Berlian Merah), dengan Yaqut yang mememancarkan cahaya ruhani, dengan Asma’-asma, huruf-huruf dan lingkaran-lingkaran Asma huruf. Dia bicara dengan cahaya matahati di atas rahasia terdalam di lubuk rahasianya. Ia seorang yang alim dengan pengetahuan lahiriah dan batiniyah dengan kedalaman makna yang dahsyat, baik dalam tafsir, hadits, fiqih, ushul, bahasa, hikmah dan etika. Sebuah ilustrasi yang digambarkan pada Sulthanul Aulioya Syeikhul Quthub Abul Hasan Asy-Syadzily – semoga Allah senantiasa meridhoi .

Kenapa Bencana Melanda Negara Mayoritas Islam?

Sejumlah surat masuk dalam meja redaksi, dan semuanya bernada serupa. Dan surat-surat itu senantiasa meminta jawaban dan solusi dunia Sufi dalam menyikapi dan menghadapi cobaan dan bencana.
Salah satu surat ke meja redaksi diharapkan mewakili para pembaca:

Assalamu'laikunm wr. wb.
Di Indonesia ini penganut Islamnya terbanyak di dunia tapi mengapa selalu saja dilanda bencana yang tak kunjung henti. Apa karena Islamnya hanya Islam kulit tidak sampai Islam hakikat mohon penjelasan
Wassalamu'laikunm wr. wb.
Windu (pencari1jalan@yahoo.com)

Pertanyaan anda barangkali juga menjadi kegalauan bagi ummat Islam, dengan pertanyaan yang sama. Misteri apa dibalik semua ini?
Pertama: Allah menguji manusia dengan hal-hal yang buruk dan hal-hal yang baik. Untuk mengukur sejauhmana kesalehan tindakannya di dunia sebagai hamba, dan sekaligus apakah seorang hamba lulus menghadapi ujian-ujian itu. Jika lulus ia naik derajat, dan jika tidak, ia terdegradasi.
Kedua: Allah menyeleksi para hambaNya dari semua level dan kalangan. Mulai dari paling awam, paling elit atau pun dari kalangan biasa, pejabat, politisi, pengusaha, ustadz, kyai, ulama, dan tukang becak. Nilai derajat itu ditentukan, apakah sang hamba sabar dan ridlo atau tidak. Bukan dilihat dari - apakah seorang itu semakin sukses dan bangkrut,- bukan itu ukurannya.
Ketiga: Allah ingin mempercantik alam ini, dan tentu saja memasukkannya dalam salon ruhaniyah melalui bencana itu, agar semesta kelak lebih indah dan menyejukkan iman kita.
Keempat: Agar kita semua bosan dan jenuh dengan kepalsuan dunia, dan lebih memilih Allah dan RasulNya. Karena Kecemburuan Allah pada kita, atas Cinta dan KasihNya yang Agung kita abaikan, dengan perselingkuhan kita pada makhluk, akhirnya Allah membentak kita dengan sesuatu yang keras, agar kita kembali ke pelukan RahmatNya. Bentakan Allah itu diturunkan semata karena saking cinta dan sayangNya Allah kepada kita.
Kelima: Banyaknya gelombang yang melebihi dahsyatnya Tsunami. Suatu badai kekeringan dan kegersangan spiritual, yang menumbuhkan kehausan dan kegersangan jiwa dari ummat Islam itu sendiri. Begitu marak bendera-bendera Islam, slogan-slogan takbir, teriakan-teriakan demonstran membela Islam, tetapi hati dan ruh mereka seperti terpanggang di atas sahara kegersangannya. Lalu mereka kehilangan moral sejati, akhlaq ruhani, kebeningan hati sebagai ummat, lebih senang bermain-main di kawasan limbah dan kulit-kulit kering belaka.
Keenam: Jika banyak orang miskin yang tak berdosa terkena bencana, sementara koruptor semakin berjaya, ketidakadilan semakin merajalela, dan premanisme semakin bergaya, semata karena Allah menyayangi hamba-hambaNya yang miskin, agar tidak terkutuk bersama-sama para penjahat itu, para munafiqin yang mengaku sok Islam tetapi hatinya busuk itu.
Ketujuh: Derajat ummat ditentukan sejauhmana keikhlasannya dalam beribadah, kesabarannya dalam menghadapi cobaan, keridloaannya dalam merespon ketentuan dari Allah Ta'ala.
Kedelapan: Allah tidak pernah menzalimi hambaNya tetapi para hamba itu sendiri yang menzalimi diri sendiri. Allah tidak pernah marah kecuali karena didahului oleh rasa CintaNya yang Agung. Allah tidak pernah memanipulasi para hambaNya dan tidak punya kepentingan dengan maksiat atau taatnya hamba. Tetapi, para hamba seringkali memanipulasi Nama-Nama BesarNya demi hawa nafsunya, simbo-simbolNya demi kepentingan kekuasaan hamba, dan sesungguhnya para hambalah yang butuh Allah Ta'ala.
Kesembilan: Para hamba Allah di muka bumi telah banyak kehilangan rasa kehambaannya. Mereka lebih senang menjadi hamba dunia dan nafsunya, bahkan sangat bangga menjadi hambanya syetan. Coba anda survey di khalayak, berapa persen ummat Islam ini yang masih memegang teguh sifat kehambaanya: Rasa Fakir kepada Allah, Rasa hina di depan Allah, Rasa tak berdaya di hadapanNya, Rasa lemah di depanNya? Bukankah mayoritas saat ini malah merasa cukup dan tidak butuh Allah, merasa mulia karena menganggap dirinya lebih Islam dan lebih dekat Allah; merasa kuat dan berkuasa di muka bumi?
Kesepuluh: Dalam dunia Sufi, menghadapi cobaan dengan kesabaran, diperuntukkan kalangan awam. Tetapi bersyukur atas bencana dan cobaan, adalah sikap bagi kalangan khusus. Bersyukur terhadap nikmat adalah sikap kaum awam, bersabar menghadapi nikmat adalah sikap kalangan khusus.
Kesebelas: Jangan dikira, bahwa kejadian-kejadian alam yang hancur itu bukan karena ulah manusia. Akal dan pengetahuan manusia yang terbatas beralibi: Bagaimana bencana terjadi karena ulah manusia? Bukankah ini gejala alam murni? Bukankah ini semua bisa diprediksi? Bukankah bencana ini karena faktor-faktor evolusi dan seterusnya? Mari kita belajar pada tragedi Nuh as, ketika putranya Kan'an mengandalkan ilmu pengetahuan dan rasionya, sampai ia tenggelam dalam kekufurannya. Belajar pula pada kaum Luth, ketika ulah mereka menimbulkan bencana bumi yang tragis. Ingatlah pula hadits Nabi saw, mengenai Qiyamat, "Bahwa kiamat tidak akan terjadi sepanjang masih ada satu manusia yang berdzikir Allah Allah…"
Keduabelas: Bila Cahaya menerangi seluruh dunia dan seluruh ummat manusia mengalami pencerahan semua tanpa sisa, dunia pun akan kiamat. Begitu juga sebaliknya, jika kegelapan memenuhi jiwa manusia seluruhnya secara total, dunia juga kiamat. Namun, hadits Nabi memberikan indikasi bahwa fakta qiamat bagi dunia adalah ketika dunia dengan manusianya mencapai kegelapan total. Bukan Cahaya total.
Ketiga Belas: Ibadah, kepatuhan, ketaqwaan, kesalehan, dan kemuhsinan ummat Islam, sangat mempengaruhi perjalanan kosmik semesta, karena manusia adalah sentral dari makhluk Allah, dan sentral manusia adalah qalbunya. Begitu juga sebaliknya, kejahatan, kebejatan, kesombongan dan kealpaan manusia mempengaruhi tatasurya dan jagad semesta. Dalam dunia Sufi disebutkan, bahwa aspek lahiriyah fisika itu hanyalah akibat dari batin dan hakikat kita.
Keempatbelas: Perhitungan matematika, logika dan fisika, hanyalah perhitungan gejala dan tanda. Ada yang lebih neukleus (inti) bahwa perhitungan ruhani menempati posisi sentral dalam gerak gerik semesta ini.
Kelimabelas: Bagaimana anda melihat bencana? Anda lihat dengan matahati anda sendiri-sendiri: Jika anda sedang dalam gairah mencintai Allah dan RasulNya, matahati akan memandang betapa agungnya Asma dan SifatNya. Jika anda sedang alpa dan lalai, menuruti kepentingan nafsu diri, itulah bentakan-bentakan Ilahi kepada anda. Jika Anda dalam kondisi sangat miskin secara duniawi, padahal anda dekat denganNya, itulah cara Allah menyelamatkan diri anda. Jika anda sedang berkecukupan, tetapi harta anda menumpuk bagai sampah di peti kekayaan anda, itulah cara Allah mengingatkan agar anda mengeluarkan kotoran-kotoran harta anda. Jika anda sedang bercahaya bersamaNya; itulah cara Allah menampakkan KemahasucianNya, dan caraNya memperdengarkan tasbihnya alam kepada anda.
Keenambelas: Lihatlah dengan matahati pula, dibalik yang tampak di semesta kehidupan ini, maka disanalah matahati menyaksikan Allah, dibalik, dibawah, di atas, sebelum, sesudah alam semesta ini. Jika tak mampu demikian, sesungguhnya matahati anda sedang kabur dari Cahaya Allah, karena tertupi oleh mendung-mendung duniawi dan nafsu anda, dari Cahaya ma'rifat kepadaNya.
Renungkan semua itu, sembari terus beristighfar kepada Allah…

Renungan Harian Sufi di Bulan Suci

Memasuki bulan Suci Ramadlan, berarti kita memasuki Lembah Ilahi, dari hari ke hari, hingga genap sebulan atau 29 hari. Barangkali kita bisa terbantu untuk menghayati puasa kita, baik puasa lahir maupun puasa batin, puasa fisik maupun puasa hati kita.

Hari pertama:
“Puasa itu untukKu, dan Aku sendiri yang akan membalasnya.” Demikian hadits Qudsi. Berarti hari pertama ini, seluruh hasrat, kehendak, citarasa, tekad, tujuan dan niat, yang menggumpal di hati kita hanya untuk Allah Ta'ala semata. "Oh Tuhan, hatiku untukmu…dahaga kerongkongan, dan perut keroncongan, adalah pestanya hatiku denganMu…Hatiku tak ingin selain DiriMu…"

Hari Kedua:
Dalam kata RAMADLAN, ada huruf Ra', Mim, Dlad, Alif, Nun.
1. Ra', Ridlwanuhu = Ridlanya Allah.
2. Mim, Mahabatuhu = Cintanya Allah,
3. Dlad, Dlomanuhu = Jaminan Allah,
4. Alif, Ulfatuhu = KemahalembutanNya,
5. Nun, Nuruhu = CahayaNya.

Semua diperuntukkan orang-orang yang berpuasa. Bersyukurlah, karena anda telah dicatat dalam CatatanNya sebagai orang yang berpuasa. Jika tidak, hanya lapar dan dahaga belaka.

Hari Ketiga:
Jika ada emosi, jika ada yang menjengkelkan di pagi hari, di terik matahari, atau menjelang senjakala tiba, kembalikan hatimu kepadaNya, siapa tahu ujian dan cobaan itu sedang menimbang naiknya derajatmu. Ingatlah kegembiraan orang-orang yang sedang berbuka, segala masalah jadi lupa.

Hari Keempat:
Mata, perut, hidung, telinga, kelamin, mulut, sedang menahan diri dari tarikan syahwatnya. Hati harus menahan diri dari segala iming-iming nafsu dan duniawinya. Ruh, adalah arus kuat yang menggerakkan menuju Allah. Sirr (rahasia jiwa) tak ingin ada selain Allah.

Hari Kelima:
Jika ada penyesalan karena tindakan dosa yang kau lakukan selama empat hari lalu di tengah berpuasa, janganlah penyesalan itu membuatmu semakin jauh dari harapan kepadaNya. Karena hari-hari esok adalah CahayaNya, dan hari ini bukalah jendela pintu hatimu untuk bias Cahaya paginya yang indah.

Hari Keenam:
Jangan lupa, seluruh amaliyah rutin yang biasa kau baca, kau wiridkan, amaliyah sunnah di bulan ini jangan kau abaikan sedikit pun. Apa pun kesibukanmu, masalah yang membuat dirimu tertekan sekali pun, jangan sempai memutus kabel yang menyambungkan dirimu dengan Allah.

Hari Ketujuh:
Mari melakukan konser ruhani di bulan suci. Seluruh bunyi dan nada kita pendengarkan secara harmoni dalam jiwa kita. Serasa seluruh ragam dzikir berbunyi bersama, dalam naik turunnya nafas jiwa, begitu gemebyar dalam seluruh semesta, tasbih, tahmid, takbir, hauqolah, istighfar, sholawat Nabi, tahlil, dan tersembunyi dalam sunyi, Allah Allah Allah.

Hari Kedelapan:
Penjarakan dan kuburkan, seluruh sifat-sifat burukmu, iri, dengki, takabur, riya', 'takjub pada diri sendiri, menuruti nafsu syahwat, menuruti kesenangan dunia, kemunafikan, kezaliman, dan kemusyrikan hati. Jika sesekali hendak muncul sifat-sifat itu, cepat-cepatlah beristighfar dan kau lawan dengan segala caramu

Hari Kesembilan:
Islam, berarti hatimu harus Istislam, yang makna pasrah total kepadaNya, agar selaras dengan kehendak-kehendak aturanNya. Iman, berarti yakin, membenarkan, dan mengamankan hatimu dari segala hal selain Allah, agar iman tumbuh menjadi Syajarah Thoyyibah. Ihsan, adalah buah dari Islam dan Iman kita, yang maujud dalam Muroqobah, Musyahadah dan Ma'rifah.


Hari Kesepuluh:
Sepertiga bulan kita lalui. Masihkah anda terus melawan diri sendiri? Hasrat-hasrat sampah yang membui dirimu? Apakah masih kau biarkan dirimu bertumpukan dengan onggokan limbah-limbah di hatimu? Oh, bangunlah dan melompatlah segera ke air bening jiwamu, arungi samudera sucinya, di sana banyak mutiara-mutiara.

Hari Kesebelas:
Jangan biarkan malam-malam suci ini tanpa bersamaNya. Jangan biarkan kegelapan tanpa Lampu CahayaNya. Jangan biarkan lolong anjing malam pekat yang menghadang malaikat mengganggu suara munajatmu. Jangan biarkan malam-malammu bersyahwat berlebihan. Jangan biarkan…. malam-malammu bersama TV dan hiburan

Hari Keduabelas:
Hati kita melangkah ke depan, bukan melangkah ke belakang, apalagi diam di tempat. Semangat hati dan rasa syukur harus terus terjaga untuk bangkit kepadaNya. Semakin baik, semakin lembut, semakin sabar, semakin ikhlas, semakin ridlo, semakin tawakkal, semakin dekat, semakin cinta. Itulah langkah hati ke depan, dengan meninggalkan hal-hal yang buruk.

Hari Ketigabelas:
Di dunia ini bukannya tempat kebahagiaan dan kesenangan. Senang dan gembira sehari dalam 24 jam, paling hanya satu jam kita gembira dan bahagia. Selebihnya jiwamu berjuang dengan berbagai masalah bukan? Bahagia dan gembira hanya maujud di akhirat, karena itu, jika muncul kebahagiaan di dunia, itu hanyalah bonus-bonus dari Allah. Tetapi jika engkau ingin bahagia, letakkan hatimu di akhirat, fisik, akal dan fikiranmu di dunia.

Hari Keempatbelas:
Kapankah anda menjadi orang baik? Katanya, orang baik itu adalah orang yang dalam keadaan sendiri tetap baik. Kapankah anda menjadi hamba Allah? Katanya hamba Allah itu pasrah menjadi Wayangnya Allah. Kapankah anda menjadi penempuh Jalan Ilahi? Katanya para penempuh itu mulai bersiap diri meninggalkan haru biru duniawi dari dalam hati. Atau kapankah anda menjadi para 'Arifun? Katanya para 'Arifun itu terus menerus bersamaNya, disertai olehNya.

Hari Kelimabelas:
Bersihkan terus menerus kaca cermin di hatimu, agar cahayaNya yang memantul tidak buram atau abu-abu. Jika kau biarkan, akan tumbuh kotoran yang berkarat, terasa sakit pedih ketika dibersihkan. Sungguh jangan kau biarkan sampai retak-retak cermin jiwamu, karena retak cermin adalah membiarkan kemunafikan di hatimu. Dan Na'udzubillah jangan sampai kau balik cerminmu, karena bercermin dari balik cermin berarti telah terhijab dalam kegelapan.

Ini, sungguh, bulan CahayaNya.

Hari Keenambelas:
Memang, ada saja masalah sehari-hari. Masalah muncul hanya karena Allah ingin menunjukkan betapa sampahnya duniawi itu, agar segera dirimu lari menuju kepadaNya, dalam pelukan Kasih SayangNya.

Hari Ketujuhbelas:
Nafasmu telah ditentukan dan dihitung dalam takdir. Langkah kakimu, kedipan matamu, suara yang keluar masuk dalam telingamu, gerak gerik bibirmu, ciuman hidungmu, rabaan tanganmu, bahkan gerak gerik hatimu, semua dalam catatanNya. Alangkah sia-sianya jika semua itu digerakkan Allah, sementara dirimu tidak menyertaiNya dengan Dzikrullah.

Hari Kedelapanbelas:
Jangan gelisahkan, jangan takutkan, apa yang berlalu dan yang akan datang. Karena bila kita lihat diri kita sendiri, amal perbuatan kita sendiri, ibadah dan taqarrub kita selama ini, hati penuh luka, rasanya tak berarti apa-apa di hadapanNya. Tapi jika kita lihat Rahmat, Fadlal dan AnugerahNya, serasa apa pun semua bermakna indah, agung, luhur dan betapa besarnya.

Hari Kesembilanbelas:
Pintu-pintu syurga telah dibuka sejak awal bulan ini. Pintu-pintu neraka ditutup sejak memasuki bulan ini, syetan dibelenggu. Masukilah pintu-pintuNya dengan seluruh kebajikanmu, ubudiyahmu, taqarrubmu. Jangan ada nafsu yang menghambat jalanmu.

Hari Keduapuluh:
Kedekatan Rasulullah SAW, denganmu, seperti air dalam pohon, yang meliputi seluruh batang, akar, cabang, daun, bunga dan buah. Tak ada yang tidak dialiri oleh air itu. Jika pohon jiwamu terasa kering, karena jejak-jejaknya tak kau ikuti, ucapan-ucapanNya tak kau hiraukan, peringatan-peringatannya kau abaikan. Karena itu jangan abaikan lagi Sholawat Nabi.

Hari Keduapuluh satu:
Sungguh mengherankan, di hari-hari yang sudah seperti ini, situasi dan kondisi ummat sudah kayak begini, masih ada saja orang-orang yang terus menerus memanipulasi Ilahi untuk kepentingan diri, golongan dan keluarganya serta kekuasaannya. Di hari-hari seperti ini pula, sungguh mengherankan masih banyak orang yang mengeluh, ngresulo, tidak bersyukur dan ridlo kepadaNya.

Hari Keduapuluhdua:
Nyalakan lampu-lampu di seluruh rumahmu, kamar-kamar jiwamu, bilik-bilik hatimu, melalui arus ruhanimu yang digerakkan oleh dzikirmu. Jangan biarkan cahayamu byar pett seperti PLN….Sembrono!

Hari Keduapuluih tiga
Bacalah semua kehidupan nyata ini sebagai ayat-ayat Allah. Bulan ini Al-Qur'an turun di malam Lailatul Qadar bukan? Bacalah keseharian yang kau lihat, yang kau dengar, yang kau raba, yang kau rasakan, sebagai huruf-huruf yang menyusun kata, kalimat, ayat dan surat. Agar dimana pun, kemana pun, siatuasi apa pun, pandangan hatimu tak bertoleh kepada selain Allah.

Hari Keduapuluh empat:
Lihat pula seluruh semesta, jangan sampai kau lihat yang tampak nyata, lihatlah yang ada dibalik yang tampak itu. Disana ada Afa'al Allah, Asma Allah dan Sifat Allah. Jika yang tampak nyata masih tampak jelas, maka sesungguhnya yang tampak itu telah menghijab dirimu denganNya.

Hari Keduapuluhlima:
Hidupkan malam-malam tersisa ini dalam terang benderang CahayaNya. Hidupkan siangnya, dalam menahan terus apa pun selain DiriNya. Hidupkan pagi dan sore, sore dan hingga pagi, dalam getaran dzikir dan tasbihnya. Hidupkan semuanya, agar hatimu tidak mati!

Hari Keduapuluh enam:
Jawablah Surat-surat CintaNya kepadamu, dengan jawaban hatimu, dari tinta Sirr (rahasia jiwamu) paling dalam. Mungkin tak ada lagi kata atau sebersit yang tersirat karena jawabanmu adalah kefanaanmu, dan Surat-suratNya adalah KebaqaanNya yang menarikmu menuju padaNya.

Hari Keduapuluh tujuh:
Oh pintu Ma'rifatullah terbuka. Allah juga yang mema'rifatkanmu, bukan dirimu. Jangankan kau kenal diriNya, mengenal dirimu saja selalu buntu. Bolehlah kau mengenal dirimu, jika akhir pengenal akan dirimu tak lebih dari debu yang berterbangan, hingga kau mengenal Tuhanmu tanpa batas dan tiada tara. Allahu Akbar!

Hari Keduapuluh delapan:
Allah Allah Allah… Semuanya tanpa kecuali. Allah Allah Allah….semuanya tanpa henti. Allah Allah Allah…. Semuanya cahayaNya. Allah...Allah...Allah….Semuanya tiada kecuali WajahNya….

Hari Keduapuluh sembilan:
Besok hari raya bukan. Hari kemerdekaan yang hakiki. Hari segalanya penuh Takbir, Tasbih dan Tahmid. Hari lahir kembali. Lalu jangan lagi ada noda, luka, aniaya diri sendiri. Jika masih ada dendam pada diri sendiri, jika masih ada emosi pada sesama, jika masih ada keraguan atas Rahnmat dan AnugerahNya, segeralah bersihkan dengan permohonan yang total padaNya……

Akhlak Sufi Rasulullah saw Syeikh Abu Nashr As-Sarraj

(Menyambut Maulid Nabi saw.)
Syekh Abu Nashr as-Sarraj' -rahimahullah - berkata: Diriwayatkan dari Rasulullah saw., bahwa beliau pernah bersabda
"Sesungguhnya Allah telah membina mental (akhlak)ku, kemudiain Dia membinanya dengan sangat baik." (H.r. al-Askari dari Ali r.a.).
Beliau juga bersabda:"Saya adalah orang yang paling tahu di antara kalian tentang Allah dan yang paling takut kepada-Nya." (H.r. Bukhari-Muslim)
Rasulullah juga bersabda: "Aku disuruh memilih antara menjadi seorang Nabi yang menjabat raja atau menjadi seorang Nabi yang hamba. Kemudian Jibril a.s. memberiku isyarat agar berendah hati. Lalu aku menjawab pilihan itu: Akan tetapi aku lebih memilih menjadi Nabi yang hamba; Dimana suatu hari aku kenyang dan di hari yang lain aku lapar". (H.r. ath Thabrani dari IbnuAbbas, Baihaqi dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).
Diriwayatkan pula, bahwa beliau bersabda:"Aku ditawari dunia, namun aku menolaknya." (H.r. Ibnu Abi ad-Dunya, Ahmad dan ath-Thabrani dari Abu Buwaibiyah).
Beliau juga bersabda: "Andaikan aku memiliki emas sebesar Gunung Uhud niscaya akan aku infakkan demi agama Allah, kecuali sedikit yang aku sisakan untuk menutupi hutang." (H.r. Bukhari-Muslim dan Ibnu Majah).
Sebagaimana juga diriwayatkan, "Bahwa Rasulullah saw. tidak menyimpan makanan untuk esok hari. Belum pernah sekali menyimpan makanan untuk keluarganya untuk masa satu tahun yang juga beliau persiapkan untuk orang-orang yang datang kepadanya." (H.r. Bukhari-Muslim dari Umar r.a.).
Juga diriwayatkan, "Bahwa Rasulullah saw. tidak memiliki dua potong baju (gamis), tidak juga makan makanan yang diayak lebih dahulu. Beliau sampai wafat belum pernah sama sekali merasa kenyang dengan roti gandum. Itu dilakukan atas pilihannya sendiri (kondisi normal) dan bukan karena kondisi darurat. Sebab andaikan beliau mau memohon kepada Allah Azza wa Jalla, agar gunung dijadikan-Nya emas dan tidak akan dihisab di hari kiamat, maka Allah akan melakukannya." (H.r. ath-Thabrani, al-Bazzar dan Bukhari-Muslim).
Dan masih banyak riwayat yang semisal dengan Hadis-hadis di atas.
Diriwayatkan bahwa, Rasulullah saw bersabda kepada Bilal, "Berinfaklah wahai Bilal, dan janganlah engkau khawatir Pemilik Arasy mengurangi hartamu." (H.r. al-Bazzar, ath-Thabrani al-Qadhai dari Ibnu Mas'ud).
Diriwayatkan, bahwa Barirah pernah menyuguhkan makanan di depan Rasulullah saw., kemudian beliau makan sebagiannya. Kemudian pada malam kedua Barirah datang dengan membawa sisa makanan yang pernah disuguhkan kemarin. Rasulullah kemudian bertanya dan menandaskan, "Apakah engkau tidak takut, jika makanan ini nanti mengepulkan asap dihari Kiamat? Jangan sekali-kali engkau menyimpan makanan untuk esok hari, karena Allah Azza wa jalla akan memberikan makanan setiap hari'." (H.r. al-Bazzar).
Juga diriwayatkan, Bahwa Rasulullah saw. tidak pernah mencacat suatu makanan sama sekali, jika berselera maka beliau makan, Jika tidak maka beliau tinggalkan. Dan setiap kali ditawari dua pilihan tentu beliau memilih yang paling sederhana (ringan). (H.r. Malik, Bukhari-Muslim dan Abu Dawud).
Nabi saw. bukanlah seorang petani, bukan pula seorang pedagang dan juga bukan seorang pembajak tanah.
Dan diantara sikap tawadhu' (rendah hati) beliau, tercermin pada cara berpakaian dan tindakan tindakan lainnya, dimana beliau mengenakan pakalan dari wool kasar (shiji), memakai sandal yang dijahit dengan benang, mengendarai keledai, memeras susu kambing sendiri, menambal dan menjahit sandalnya sendiri, menambal pakaiannya, beliau tidak merasa malu mengendarai keledai atau dibonceng di belakang. (Periwayatan Hadis ini dilansir dalam lafal yang beragam oleh beberapa ahli Hadis semisal Ibnu Majah al-Hakim, ath-Thabrani dan lain lain, pent.).
Diriwayatkan bahwa Rasulullah tidak suka dengan cara hidup kaya dan sama sekali tidak takut miskin. Dalam hidup yang ditempuh bersama keluarganya, pernah selama satu dan dua bulan tidak mengepulkan asap dapurnya karena tidak ada bahan untuk memasak roti. Makanan utamanya hanyalah dua: kurma dan air. (H.r. Bukhari-Muslim dari Aisyah dan Abu Ya'la dari Abu Hurairah).
Diriwayatkan pula, bahwa istri-istrinya disuruh memilih antara dunia dengan Allah dan Rasul-Nya. Mereka kemudian memilih Allah dan Rasul-Nya. Dalam peristiwa ini turun dua ayat dalam surat al-Ahzab:
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, 'Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya aku berikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah inenyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antara kalian pahala yang besar'."(Q.s. al Ahzab: 28 9).
Dan di antara doanya ialah: "Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah aku bersama golongan orang-orang miskin." (H.r. Tirmidzi, Ibnu Majah dari Said al Khudri dan athThabrani dari Ubadah bin Shamit. Namun Ibnu al-Jauzi dan Ibnu Taimiyah menganggapnya sebagal Hadis Maudhu').
Dan di antara doanya pula: "Ya Allah karuniakanlah rezeki kepada keluarga Muhammad makanan pokok yang cukup sehari dalam setiap hari." (H.r. Bukhari Muslim, Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).
Abu Said al-Khudri dalam menerangkan sifat-sifat Rasulullah sebagaimana yang diriwayatkannya: Rasulullah itu mengenakan pakaian wool kasar dan juga mengikat unta, menyiram tanaman, menyapu rumah, menambal sandal, menambal pakaian, memerah susu kambing, makan bersama pembantunya, tak segan-segan menumbuk gandum jika pembantunya letih, tidak malu untuk memanggul barang-barangnya dan pasar ke rumah keluarganya. Beliau juga selalu bersalaman dengan orang-orang kaya dan miskin. Selalu yang pertama (memulai) mengucapkan salam, tidak pernah menolak orang yang mengundangnya, tidak pernah meremehkan hidangan yang disuguhkan sekalipun hanya berupa kurma yang paling jelek.
Beliau sangat lembut perangainya, berwatak mulia, luwes cara bergaulnya, wajahnya berseri-seri, selalu tersenyum dan tidak pernah tertawa berbahak-bahak. Bila sedih tak pernah kelihatan kusut dan cemberut. Rendah hati tanpa harus rendah diri, dermawan tapi tidak boros. Hatinya lembut, selalu tunduk dan diam, pengasih kepada setiap muslim. Tidak pernah besendawa karena kenyang, dan tidak pernah mengulurkan tangannya kepada makanan (yang jauh).
Aisyah r.a. berkata, "Rasulullah itu lebih dermawan daripada angin yang bertiup secara bebas." (H.r. Bukhari Muslim).
Rasulullah saw. pernah memberi kambing sebanyak antara dua gunung kepada seseorang. Kemudian orang itu pulang ke kabilah (suku)nya dan berkata, "Sesungguhnya Muhammad memberi kepada seseorang sebagaimana pemberian orang yang tidak pernah khawatir jatuh miskin." (H.r. Imam Ahmad dan Muslim dari Anas).
Rasulullah bukanlah sosok yang suka berteriak-teriak, tidak juga sosok yang suka berkata kotor dan keji. (H.r. Tirmidzi).
Nabi Muhammad saw. makan di atas tanah, duduk di atas tanah, memakai baju mantel, duduk bersama-sama orang miskin dan berjalan di pasar. Beliau sering kali menjadikan tangannya sebagai bantal, dan mencukur sendiri. Tidak pernah tertawa lebar-lebar, tidak pernah makan sendirian, tidak pernah memukul pembantu (budak)nya sama sekali dan tidak pernah memukul seorang pun dengan tangannya kecuali demi membela agama Allah. Beliau tidak pernah duduk bersila, tidak pernah makan sambil bersandar.
Beliau pernah bersabda, "Aku makan sebagaimana makannya seorang hamba dan aku duduk sebagai mana duduknya seorang hamba." (H.r. Saad, Abu Ya’la, Ibnu Hibban dan Tirmidzi dari Aisyah)
Diriwayatkan, Bahwa Rasulullah saw. pernah mengikat batu di perutnya untuk mengganjal rasa lapar. Padahal andaikan beliau mau memohon kepada Tuhannya untuk menjadikan Gunung Abu Qubais sebagai emas tentu Dia akan mengabulkannya. (H.r. Bukhari-Muslim dari jabir dan Tirmidzi dari Abu Thalhah).
Rasulullah pernah membawa sahabat-sahabatnya ke rumah Abu al-Haitsam bin at-Taihan dengan tanpa diundang. Di sana beliau makan makanannya sendiri dan minum minumannya sendiri. Lalu beliau bersabda kepada para sahabatnya, "Inilah sebagian nikmat yang kalian tanyakan." (H.r. Malik, Tirmidzi dan Muslim dari Abu Hurairah).
Rasulullah saw. pernah diundang seseorang untuk datang ke rumahnya dengan membawa lima orang sahabatnya. Maka orang keenam tidak boleh masuk kecuali mendapatkan izin tuan rumah. (H.r. Bukhari Muslim dan Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Dalam sebuah Hadis diriwayatkan, Bahwa Rasulullah saw. pernah memiliki pakaian gamis (khamishah) yang ada batik atau motifnya. Kemudian pakaian tersebut diberikan kepada Abu Jahm, sembari bersabda, "Hampir saja gambar ini membuatku terlena." Kemudian beliau meminta pakaian polos tidak bermotif dan kasar (anbjaniyyah) milik Abu Jahm dengan bersabda, "Tolong berikan kepadaku anbijaniyyah Abu Jahm". (H.r. Bukhari-Muslim).

Rasulullah saw. pernah ditanya mengenai shalat dengan hanya memakai satu pakaian. Kemudian beliau balik bertanya, "Apakah kalian semua bisa mendapatkan dua pakaian?" (H.r. BukhariMuslim, Malik, Tirmidzi dan Abu Dawud dari Abu Hurairah).
Beliau pernah bersabda, "Saya adalah anak seorang perempuan Quraisy yang juga makan dendeng." (H.r. al-Hakim dari Jarir).
Beliau juga bersabda, "Janganlah kalian mengatakan aku lebih baik daripada Yunus bin Mata a.s." (H.r. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah dan Abu Dawud dari Ibnu Abbas).
Dalam kesempatan lain beliau bersabda, "Aku adalah tuan (sayyid) dari seluruh anak Adam, dengan tanpa menyombongkan diri." (H.r. Muslim, Abu Dawud, Ahmad, Tirmidzi dan Ibnu Majah dari Abu Said).
Beliau bersabda, "Sesungguhnya aku memberi kepada beberapa kaum dan aku tidak memberi kepada yang lain. Sementara itu orang yang aku beri bukan berarti lebih aku cintai daripada mereka yang tidak aku beri." (H.r. Bukhari-Muslim, Ahmad dan an-Nasa'I dari Sa'ad).
Beliau bersabda: "Orang yang pertama kali masuk surga adalah orang-orang fakir dari kaum Anshar, dimana rambut kepalanya kusut (kurang rapi), pakaiannya kumal, tidak pernah menikmati kesenangan-kesenangan dunia dan jalan buntu (untuk masalah duniawi) tidak pernah terbuka baginya." (H.r. Ahmad, alBazzar dari Abdullah bin Amr bin 'Ash dan Ibnu Hibban dari Tsauban, ath Thabrani, Tirmidzi dan al Hakim, dimana para perawinya bisa dipercaya [tsiqah]).
Beliau bersabda, "Aku tidak ada urusan dengan dunia." (H.r. Ahmad, Ibnu Hibban, Baihaqi dari Abbas, Tirmidzi dari Abdullah bin Mas'ud, dan Ibnu Majah).
Beliau juga bersabda:
"Hendaknya sarana hidup salah seorang di antara kalian, sebagaimana bekal seorang pengendara (Musafir)." (H.r. Abu Ya'la, ath-Thabrani dari Habbab, al Baihaqi, al Hakim, Ibrju Hibban dari Salman, dan Ibnu Majjah).
Beliau bersabda:
"Umatku yang akan masuk surga lebih dahulu, sebelum orang-orang kaya mereka dengan tenggang waktu setengah hari (di akhirat), dimana setengah hari di akhirat sama dengan lima ratus tahun (di dunia)." (H.r. Tirmidzi dan Ibnu Hibban).
Dan juga sabdanya:
"Kami golongan para Nabi adalah orang-orang yang sangat berat ujian (cobaan)nya, kemudian menyusul setelah kami orang-orang pilihan yang lebih Utama, kemudian yang lebih utama. Seseorang akan diuji sesuai dengan kadar tingkat keagamaannya. Jika dalam beragama ia memiliki keteguhan maka akan diuji dengan ujian yang sangat berat." (H.r. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, al Hakim dari Sa'ad bin Abi Waqqash, Ahmad, an-Nasa'i dan ad-Darimi dari Ashim).
Diriwayatkan, bahwa ada seseorang berkata kepada Rasulullah swt., "Aku mencintaimu wahai Rasulullah." Kemudian Rasulullah bersabda, "Bersiaplah engkau menerima cobaan dengan leluasa." (H.r. ath-Thabrani dari Ka'ab bin 'Ajarah).
Diriwayatkan pula dari Nabi saw. yang bersabda, "Bagian dari dunia yang dicintakan kepadaku adalah perempuan dan wewangian, sementara ketenangan hatiku dijadikan pada shalat." (H.r. Ahmad dan an-Nasa'i).
Dan beliau juga bersabda, "Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian." (H.r. Muslim dari Anas dan Aisyah). Dalam Hadis ini Rasulullah menisbatkan dunia kepada para sahabatnya dan mengecualikan dirinya dari masalah dunia.
Rasulullah tidak pernah meletakkan bata di atas bata yang lain (membangun rumah) sehingga beliau wafat. (H.r. Ibnu Hibban). Saat Rasulullah saw. wafat, baju perangnya masih tergadaikan di tangan Yahudi sebagai jaminan atas pinjaman satu sha' gandum. Beliau wafat tidak meninggalkan dinar maupun dirham. Tidak juga ada harta warisan yang harus dibagi. Di rumahnya tidak ada perabot rumah tangga. (H.r. Bukhari-Muslim dan Tirmidzi dari Aisyah).
Beliau pernah bersabda, "Kami para rasul tidak meninggalkan warisan. Sedangkan apa yang kami tinggalkan adalah sedekah." (H.r. Malik, Bukhari Muslim, Tirmidzi dan Abu Dawud).
Rasulullah saw. menerima hadiah dan pemberian. Namun beliau tidak pernah makan sedekah (zakat), tapi beliau mengamblinya dari mereka untuk dibagikan kepada orang lain.
Dan diriwayatkan dari Rasulullah yang bersabda, "Allah tidak memberi wahyu kepadaku agar aku mengumpulkan harta dan kemudian menjadi seorang pedagang. Akan tetapi Allah swt. memberi wahyu kepadaku dengan perintah: "Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), dan beribadahlah kepada Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)." (Q.s. al-Hijr: 98-9).
Diriwayatkan dari Aisyah r.a. yang berkata, "Kami pernah menyembelih seekor kambing dan kami sedekahkan semuanya kecuali bagian pundak (kaki depan). Kami pun bilang kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, semuanya habis kecuali kaki depannya!' Rasulullah menjawab, 'Semuanya akan menjadi kekal kecuali kaki depannya'." (H.r. Tirmidzi).
Allah swt. berfirman: "Nun, demi al-Qalam (Pena) dan apa yang mereka tulis, berkat nikmat Tuhanmu engkau (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Dan sesungguhnya bagimu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang agung." (Q.s. al-Qalam: 1-4).
Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah mencintai akhlak yang mulia dan benci akhlak yang rendah." (H.r. al-Hakim dari Sahl bin Sa'ad, Ibnu Majah, Abu Nuaim dan ath-Thabrani).
Beliau juga bersabda, "Saya diutus dengan membawa akhlak yang mulia." (H.r. Malik dan Ahmad).
Di antara kemuliaan akhlak Rasulullah saw. adalah memiliki rasa malu yang tinggi, dermawan, tawakal, ridha, dzikir, syukur, sabar, pemaaf, penuh toleran, penuh asih, belas kasih, suka memberi nasihat, ketenangan, berwibawa, rendah hati, sedikit harta, suka memberi, kokoh pendirian, pemberani, ikhlas, jujur, zuhud, puas dengan apa yang ada, khusyu', selalu takut kepada Allah, selalu rnengagungkan, disegani, selalu berdoa dan sering menangis, penuh harapan kepada Allah dan selalu menggantungkan diri kepada-Nya, bertahajud dan beribadah. Hari-harinya adalah Jihad dan mujahadah.
Sebagaimana diriwayatkan, bahwa Nabi saw. selalu sedih, selalu merenung (tafakur). Di dadanya ada suara gemuruh laksana gemuruhnya periuk yang sedang berisi air mendidih. (H.r. ath-Thabrani dari Hasan bin Ali, Abu Dawud, an-Nasa'i, Ibnu Hazin dan Ibnu Hibban).
Juga diriwayatkan bahwa, Rasulullah saw. shalat sehingga kedua kakinya bengkak. Kemudian Aisyah bertanya, "Bukankah Allah telah mengampuni dosa-dosa tuan, baik yang telah lalu maupun yang akan datang?" Maka Rasulullah menjawab, "Apakah aku tidak ingin menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?" (H.r. Bukhari-Muslim dari Aisyah, Tirmidzi dan an-Nasa'i dari al-Mughirah bin Syu'bah).
Rasulullah akan memberi kepada orang yang tidak pernah memberinya, selalu menyambung persaudaraan dengan orang yang memutus hubungan dengannya dan memaafkan kepada orang yang menganiayanya. Rasulullah tidak pernah menghukum dan marah kepada siapa pun hanya karena kepentingan pribadinya, kecuali bila orang yang dihukum tersebut karena melanggar larangan-larangan Allah. Maka beliau akan marah karena Allah. (H.r. Bukhari dari Abdullah bin Amr bin 'Ash).
Beliau kepada para janda laksana seorang suami yang sangat penyayang, dan kepada anak-anak yatim laksana seorang ayah yang penuh kasih sayang.
Beliau pernah bersabda, "Barangsiapa meninggalkan harta, maka itu menjadi milik ahli warisnya, dan barangsiapa meninggalkan istri sebatang kara atau anak-anak terlantar maka hendaknya kepadaku." (H.r. Ahmad, Bukhari-Muslim, an-Nasa'i dan 1bnu Majah dari Abu Hurairah).
Rasuluilah saw. pernah berdoa: "Ya Allah, sesungghnnya aku adalah manusia yang bisa marah sebagaimana orang lain marah. Maka jika ada orang yang aku lecehkan atau aku laknat maka jadikanlah itu sebagai kaffarat (tebusan) dosanya." (H.r. Bukhari-muslim, dari Abu Hurairah, dan Ahmad).
Anas bin Malik r.a. berkata, "Aku mengabdi kepada Rasulullah saw. selama sepuluh tahun. Beliau tidak pernah memukulku dan tidak pernah membentakku. Tidak pernah menegur apa yang aku kerjakan dengan ucapan, 'Mengapa engkau mengerjakan ini?’, dan tidak pula menegur apa yang tidak aku lakukan dengan ucapan, 'Mengapa engkau tidak melakukan itu?'." (H.r. Bukhari-Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi).
Andaikan bukan karena kemuliaan, pemaafan dan kesabaran yang ada pada diri Rasulullah saw. tentu di saat penaklukan kota Mekkah (Fathu Makkah) merupakan kesempatan besar bagi Rasulullah untuk membalas orang-orang kafir Quraisy. Ini merupakan bukti nyata akan kesempurnaan akhlak beliau yang sangat tinggi.
Karena saat Itu beliau masuk kota Mekkah dengan cara damai. Padahal pada tahun-tahun sebelumnya paman-paman dan orang-orang dekatnya dibunuh setelah mereka mengepungnya di perkampungan dan menyiksa sahabat sahabatnya dengan berbagai bentuk siksaan. Mereka mengusir dan menyiksanya sampai berdarah, melempari kotoran binatang, menyakiti hatinya dan juga kepada para sahabatnya. Mereka membodoh-bodohkannya dan mengadakan pertemuan untuk melakukan tipu muslihat. Namun ketika Rasulullah saw. masuk di Mekkah dengan tanpa keinginan mereka, dan beliau berada di pihak yang menang sementara mereka di pihak yang kalah dan rendah, kemudian beliau berdiri sembari berkhotbah yang dimulainya dengan memuji kepada Allah dan menyanjung-Nya.
Kemudian dalam khotbahnya, beliau bersabda, "Aku mengatakan apa yang pernah dikatakan saudaraku, Yusuf a.s. 'Pada hari ini tak ada tak ada cercaan terhadap kalian, mudah-mudahan Allah mengampuni kalian'." (Q.s. Yusuf : 92). Kemudian beliau melanjutkannya, "Barangsiapa masuk rumah Abu Sufyan maka akan aman." (H.r. an-Nasa'i dari Abu Hurairah).
Dan masih banyak riwayat shahih yang searti dengan riwayat-riwayat di atas. Tentu saja tidak mungkin disebutkan di sini secara keselurahan. Sementara itu yang kami sebutkan hanyalah sebagian dari apa yang bisa dijadikan petunjuk. Dan hanya Allah swt. Yang Mahatahu. (Al Luma; R6)

Nasehat Syeikh Bahauddin an-Naqsyabandy

1. Mengamalkan tareqat berarti berkekalan di dalam melaksanakan ‘ubudiyyah kepada Allah, secara zahir dan batin, dengan kesempurnaan komitmen (iltizam) mengikuti as-Sunnah, dan menjauhkan segala bid’ah dan segala kelonggaran (rukhsah), pada setiap gerak dan diam.
2. Jalan kita ialah dengan menuruti jejak langkah baginda Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Aku telah dibawakan ke jalan ini melalui Pintu Kurnia, karena dari permulaan jalan hingga ke akhirnya, tiada yang aku lihat melainkan pengaruniaan-pengaruniaan dari Allah.
3. Di dalam tarekat ini, pintu-pintu kepada ilmu-ilmu langit akan dibukakan kepada as-Salikin yang teguh menuruti jejak langkah Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Mengikuti as-Asunnah adalah cara yang paling utama untuk membuka pintu-pintu ini.
4. Orang-orang ahli hikmah mempunyai tiga cara untuk mencapai Kebenaran (al-haqiqah), iaitu melalui muraqabah, musyahadah dan muhasabah.Muraqabah itu ialah tidak melihat makhluk karena seseorang itu senantiasa sibuk melihat Sang Pencipta makhluk. Maksud musyahadah ialah memandang kecemerlangan nur yang diterima di dalam hati. Dan maksud muhasabah ialah tidak mengizinkan segala ahwal yang telah diperoleh, menjadi batu penghalang bagi mencapai maqam-maqam yang lebih tinggi.
5. Para ahlullah itu tidak pernah merasa kagum dengan amalan-amalan mereka. Mereka sentiasa beramal demi cinta kepadaNya.
6. Siapa yang mengambil daripada tangan kami, dan menuruti jejak langkah kami, dan mencintai kami, apakah dia itu dekat ataupun jauh, berada di Timur atau di Barat, maka akan kami minumkan dia dari Sungai Kecintaan, dan akan kami berikan dia cahaya pada setiap hari.
7. Jalan kita ialah melalui pergaulan yang baik. Mengutamakan diri bisa mengakibatkan seseorang itu menjadi masyhur dan ini ada bahaya. Kebaikan terletak di dalam bersahabat. Siapa yang mengikuti jalan ini akan memperolehi banyak manfaat dan barakah melalui pertemuan-pertemuan yang ikhlash dan yang benar.
8. Siapa jua yang menziarahi kami tanpa memperolehi faedah yang mereka perlukan dibanding kami, sebenarnya, tiadalah mereka menziarahi kami. Mereka tidak akan merasa berpuas hati. Siapa yang mempunyai keinginan untuk berkata-kata dengan kami, kami tidak akan mendengar apa-apa. Dan siapa pula yang ingin mendengar daripada kami, kami tidak mempunyai apa-apa untuk diperdengarkan. Siapa yang menerima apa yang diberikan tanpa menganggapnya remeh, akan diberikan tambahan. Siapa pula yang tidak dapat menerima apa yang telah diberikan di sini, tidak akan berupaya menerima apa-apa pun, di mana-mana pun jua tempatnya.

Ingatkah engkau kepada kisah seorang manusia yang meminta dirham (duit perak), tetapi dia telah diberikan dinar (duit emas), karena tidak ada dirham untuk diberikan kepadanya? Dia telah berkata, “Apalah gunanya benda ini? Aku tidak boleh membelanjakannya. Ini bukan dirham!”.
9. Dari satu segi, setiap Insan Kamil itu adalah sama. Ini berarti yang apabila si murid sudah benar-benar sealiran dengan usaha tarekat ini, dia boleh berkomuniksai dengan para masayaikh terdahulu, sebagaimana mereka sendiri sering berkomuniksai sesama sendiri, menempuh jarak masa dan tempat.
10. Tugas-tugas dan amalan-amalan sebuah tarekat membentuk satu unit. Kebenaran, cara mengajar dan para murid, membentuk rupa satu tangan, yang tidak dapat dilihat oleh si jahil. Karena dia hanya melihat ketidaksamaan jari-jari, dia tidak dapat melihat kepada pergerakan padu dari tangan itu (yakni pergerakan tangan sebagai satu entitas, sebenarnya terjadi dari pergerakan bersaingan tetapi berpadu dari jari-jari tangan itu).

Kisah-kisah berhikmah Syeikh Abdul Qadir Al Jilany

Orang-orang yang beragama Yahudi dan beragama Nasrani yang telah memeluk agama Islam di tangan asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani.
Pada suatu hari, seorang paderi Nasrani telah berjumpa dengan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani dan kemudiannya telah memeluk agama Islam di tangannya, di hadapan orang ramai.

Setelah itu, bekas paderi Nasrani itu pun menoleh ke arah khalayak dan telah bercerita “Aku adalah seorang lelaki dari Yemen. Telah lama aku bercita-cita untuk memasuki agama Islam, tetapi aku telah niat aku tidak akan memasuki agama Islam melainkan di tangan sebaik-baik orang Islam. Pada suatu malam, aku telah bermimpi bertemu dengan Isa ‘alaihissalam, dan dia telah menyuruhku pergi ke Baghdad dan bertemu dengan asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani karena menurut Isa ‘alaihissalam, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani adalah sebaik-baik manusia di atas bumi di zaman ini.”
Beberapa hari kemudian, datang pula tiga belas orang Nasrani dan mereka telah memeluk agama Islam di tangan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani di dalam majlisnya.

Mereka bercerita, “Kami adalah orang-orang berbangsa Arab yang beragama Nasrani. Kami memang telah lama berhajat untuk memeluk agama Islam, tetapi kami telah menangguhkannya karena kami tidak tahu kepada siapa kami harus mendeklarasikan keislaman kami. Nah, pada suatu hari, satu suara ghaib telah menyeru kepada kami. Kami tidak dapat melihat rupa si penyeru itu, tetapi kata-katanya telah dapat kami dengar dengan jelas.

Suara ghaib itu telah berkata, “Wahai orang-orang yang sedang menuju kejayaan! Pergilah ke kota Baghdad, dan peluklah agama Islam di tangan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani karena keimanan yang akan diletakkan di dada kamu semua di hadapannya dan melalui barakahnya, tidak akan dapat disamakan dengan keimanan yang akan diletakkan di dada kamu semua, di hadapan mana-mana orang lain pun di masa ini.”
Maka itulah sebabnya kami telah datang ke sini.”
Dan jumlah orang-orang Islam yang telah bertaubat di tangan asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani pula amat besar sekali.
Abu Muhammadd 'Abdullah al-Jubba’i mengenai jumlah orang-orang yang telah menerima manfaat melalui asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani. Guru kami, yakni asy-Syaikh Abdul Qodir al-Jilani pernah berkata kepadaku, “Kadang-kadang, aku telah bercita-cita untuk berada semula di padang pasir dan di tanah yang tandus, seperti hari-hari dulu, sehingga aku tidak memandang kepada manusia dan manusia pula tidak memandang kepadaku. Tetapi, Allah telah menghendaki agar aku menjadi sumber kebaikan untuk para makhlukNya. Karena, ada lebih dari lima ribu orang Yahudi dan Nasrani yang telah memeluk agama Islam di tanganku, dan lebih dari seratus ribu orang pencuri, perompak dan penjahat, yang telah bertaubat di tanganku. Ini semua adalah satu kebaikan yang besar.”

Kisah-kisah berhikmah Syeikh Abdul Qadir Al Jilany
Oleh karena itu, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani juga telah dianggap sebagai seorang mujaddid (yakni seorang pembaharu yang menguatkan kembali agama Islam), walaupun beliau tidaklah dianggap sebagai al-mujaddid untuk kurun itu.
Asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani juga telah dikenali dengan nama panggilan Muhyiddin, yang berarti Sang Penghidup Agama. Menurut asy-Syaikh Muhammad ibn Yahya dalam kitabnya Qala’id al-Jawahir, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani sendiri telah bercerita:
Pada suatu hari Jumaat di dalam tahun 511 Hijrah, aku telah pulang ke Baghdad dari pengembaraanku. Aku sedang berkaki ayam. Aku terlihat (di dalam kasyaf) seorang lelaki tua yang sangat lemah, kulitnya sudah berubah warna dan badannya sangat kurus. Dia telah menahanku dan telah berkata,
“Selamat sejahtera ke atasmu wahai Abdul Qadir.”
Aku telah menjawab salamnya itu.
“Marilah dekat kepadaku,” pintanya Aku pun berdiri di sisinya.
“Bantulah aku sehingga aku dapat duduk semula.”
Aku pun membantunya sehingga dia dapat duduk. (Menurut satu riwayat lain, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah mendukungnya di atas bahu asy-Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani.) Tiba-tiba badannya telah menjadi sehat, keadaannya telah berubah menjadi kuat dan warna kulitnya telah pulih semula.
Semula aku takut terhadapnya. Tetapi dia telah berkata, “Tahukah engkau siapa aku?”
Aku menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu.”
Dia berkata, “Aku adalah ad-din (agama yakni lambang agama Islam). Aku telah mati dan telah dilupakan. Tetapi melaluimu, Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi, telah menghidupkan aku semula setelah kematianku.”

Aku pun meninggalkannya dan telah pergi ke masjid Jamik. Seorang lelaki telah mendekatiku dan meletakkan sepasang kasut di kakiku. Dia telah berkata, “Ya Saiyidi Muhyiddin.”
Ketika aku sedang hendak melakukan shalat, orang-orang ramai telah datang untuk berjumpa denganku dan telah mencium tanganku dan telah berkata, “Wahai Muhyiddin.”
Sebelum itu, aku tidak pernah diberikan nama ini.

Kisah di atas ini adalah sebagai satu kabar gembira mengenai tugas penting yang bakal dilakukan oleh asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani sepuluh tahun kemudian, karena setelah dia mulai berdakwah kepada orang ramai, pengaruhnya untuk “menghidupkan” semula agama Islam, memang telah dirasakan oleh masyarakat umum di kota Baghdad selama empat puluh tahun (yakni dari masa asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani berumur lima puluh satu tahun sehingga dia meninggal dunia ketika berumur sembilan puluh satu tahun).

Pada suatu malam, sekumpulan masyaikh (lebih kurang lima puluh orang) telah berkumpul bersama-sama asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani. Tiba-tiba pada suatu ketika, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah mengalami satu keadaan kerohanian yang sangat tinggi. Banyak butir-butir mutiara hikmah yang telah keluar mencurah-curah dari bibirnya. Semua orang yang hadir di situ telah mengalami satu suasana ketenangan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya.
Di satu saat, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani menunjuk ke arah tapak kakinya dan berkata, “Dengan izin Allah, tapak kakiku berada di atas tengkuk setiap wali Allah.”

Dengan serta-merta, seorang sahabat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani yang bernama asy-Syaikh ‘Ali ibn al-Hiti, telah pergi ke kursi tinggi tempat asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani selalu duduk ketika memberikan ceramah, dan telah menundukkan kepalanya di kaki asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani . Kemudian, asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani telah meletakkan tapak kaki asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani di atas tengkuk asy-Syaikh ‘Ali ibn al-Hiti. Setelah melihat perbuatan asy-Syaikh ‘Ali ibn al-Hiti ini, para hadirin yang lain pun telah turut serta melakukan perbuatan yang sama.

Salah seorang dari para wali Allah yang hadir di situ, asy-Syaikh Abu Sa‘id ‘Ali al-Qailawi telah bercerita:
Apabila dia mengucapkan kata-kata “Tapak kakiku berada di atas tengkuk setiap wali Allah”, aku telah menyaksikan kebenaran kata-katanya itu. Aku nampak para wali Allah dari seluruh dunia telah berkumpul di hadapannya sehingga memenuhi pandanganku. Yang masih hidup telah datang dengan tubuh badan mereka, sedangkan yang sudah mati, telah hadir dengan roh mereka.

Langit telah dipenuhi oleh malaikat dan juga makhluk-makhluk lain yang tidak dapat dilihat oleh mata kasar. Sekumpulan malaikat telah turun ke bumi dan telah menyampaikan kepadanya sehelai jubah dari Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Apabila kami sedang memanjangkan leher kami, terdengar satu suara yang telah memuji-mujinya dengan beberapa rangkap pujian yang khas.
Apabila asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani mengatakan yang tapak kakinya berada di atas leher setiap wali Allah, ini bukanlah satu kesombongan. Dia hanya membuat satu ungkapan, tanpa merasakan besar diri di dalam hatinya.

Coba bandingkan dengan kata-kata Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yang pada suatu hari, berkata kepada para sahabatnya:
“Aku adalah penghulu (saiyid) bagi keturunan Adam, dan aku tidak membanggakan diri. Akulah orang pertama yang akan dibelahkan bumi karenanya (dibangkitkan dari kubur), dan aku tidak membanggakan diri. Akulah orang pertama yang memberikan syafa‘ah dan orang pertama yang diterima syafa‘ah-nya, dan aku tidak membanggakan diri. Dan bendera puji-pujian berada di tanganku di Hari Kiamat, dan aku tidak membanggakan diri. (Diriwayatkan Imam Ahmad bin Hambal)

Yakni, Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyatakan fakta yang baginda telah diberikan derajat yang tertinggi oleh Allah Ta‘ala. Dan ketika baginda menyatakan fakta ini, baginda tidak berkata-kata dengan perasaan bangga diri bertempat di dalam hatinya.

Telah bercerita asy-Syaikh Abi al-Barakat:
Aku telah bertanya kepada bapak saudaraku, yakni asy-Syaikh ‘Adl bn Musafir al-Hakkari (seorang wali Allah yang besar, dan juga seorang murid Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilani), “Dari segala masyaikh yang besar-besar, adakah engkau mengetahui siapa, selain dari asy-Sayikh Abdul Qodir al-Jilani yang telah berkata bahwa tapak kakinya berada di atas leher setiap wali Allah?”
Dia telah menjawab, “Tidak ada.”
Aku pun bertanya lagi, “Apakah makna kata-katanya itu?”
Dia telah menjawab, “Itu adalah tanda bahwa di waktu ini, dialah yang sedang menduduki maqam keunggulan.”
Aku bertanya lagi, “Adakah bagi setiap zaman itu, seorang wali Allah yang dianggap terunggul?”
Dia telah menjawab, “Ya, memang benar, ada. Tetapi, hanya asy-Syaikh Abdul Qodir Al-Jilani yang telah diberikan perintah untuk mengumumkannya.”
Aku bertanya lagi, “Adakah maksudmu yang dia telah menerima perintah untuk mengumumkannya?”
“Ya, benar. Dia memang telah menerima perintah itu. Dan mereka semua (yakni para wali Allah) telah merendahkan leher mereka karena perintah itu. Sebagaimana yang engkau ketahui, para malaikat telah sujud kepada Adam ‘alaihissalam. Mereka tidak melakukan demikian melainkan karena mereka telah menerima perintah dari Allah untuk melakukannya.”

Ada juga beberapa orang masyaikh lain yang telah memberikan penjelasan seperti berikut:
Perkataan tapak kaki (qadam) hendaklah digunakan secara metafora (majaz), dan bukan secara literal. Karena, penggunaan secara metafora adalah lebih bersesuaian dengan adab, dan boleh digunakan secara lebih meluas.

Perkataan qadam boleh dimaksudkan sebagai jalan, seperti yang digunakan di dalam ungkapan, “Si fulan adalah di atas satu tapak kaki yang terpuji (qadamul hamd) ”. Ini boleh di artikan sebagai “jalan yang terpuji, atau “ibadat yang terpuji”, atau “adab yang sempurna” dan sebagainya.

---(ooo)---

Gelora Rindu Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy

Gelora Rindu

Syeikh Abul Qosim Al-Qusyairy
“Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah itu pasti datang. Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Q.s. Al-Ankabut: 5)

Atha’ bin as-Sa’ib menuturkan bahwa ayahnya menceritakan kepadanya, “Suatu ketika Ammar bin Yasir mengimami kami shalat dan dia mempercepatnya. Aku berkata, Anda tergesa-gesa dalam mengimami shalat, wahai Abul Yaqzan.’ Dia menjawab,
‘Hal itu tidak ada salahnya, karena aku memanjatkan kepada Allah sebuah doa yang pernah kudengar dari Rasulullah Saw’, Ketika hendak beranjak, salah seorang jamaah mengikutinya dan bertanya kepadanya tentang doa yang dibacanya itu.

Dia pun mengulanginya, ‘Ya Allah, dengan ilmu¬-Mu yang ghaib dan dengan kekuasaan-Mu atas semua makhluk, hidupkanlah aku jika Engkau tahu bahwa hidup itu membawa kebaikan untukku, dan matikanlah aku jika Engkau tahu bahwa mati itu membawa kebaikan untukku. Ya Allah aku meminta kepada-Mu agar aku takut kepada-Mu dalam semua perkara, baik yang nyata maupun yang ghaib. Aku memohon kepada-Mu ungkapan yang benar ketika aku senang maupun ketika aku marah. Aku mohon kepada-Mu kesederhanaan dalam kekayaan maupun kemiskinan. Aku mohon kepada-Mu kesenangan yang abadi, dan kesejukan jiwa yang tak terputus. Aku mohon kepada-Mu keridhaan dengan apa yang telah ditentukan. Dan aku mohon kepada-Mu kehidupan yang sejuk sesudah mati. Aku memohon agar bisa melihat Wajah-Mu yang Mulia, dan kerinduan untuk bertemu dengan-Mu tanpa bahaya yang mengancam, atau menjadi korban fitnah yang menyesatkan.

Ya Allah, hiasilah kami dengan keindahan iman. Ya Alah, jadikanlah kami sebagai pemberi petunjuk maupun penerima petunjuk’.”
Rindu adalah keadaan gairah hati yang berharap untuk berjumpa dengan Sang Kekasih. Kadar rindu tergantung besar volume cinta. Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq membedakan antara rindu dan hasrat yang bergolak, katanya, “Rindu ditentramkan oleh perjumpaan dan memandang. Sedangkan hasrat yang bergolak tidak sirna karena pertemuan.”
Mengenai konteks ini para Sufi bersyair:
Mata tak pernah berpaling ketika memandang-Nya,
Sehingga-kembali kepada-Nya, penuh gelora.

An-Nashr Abadzy menyatakan, “Semua orang mempunyai tahap kerinduan. Namun tidak semuanya mengalami tahap gelora, dan siapa yang memasuki gelora itu, justru akan linglung, sehingga ia tidak dipandang lagi pengaruh atau kesan dan keteguhan.”

Diceritakan bahwa Ahmad bin Hamid al-Aswad datang kepada Abdullah ibnul Mubarak dan berkata kepadanya, “Aku bermimpi engkau akan meninggal setahun lagi. Barangkali engkau harus bersiap-¬siap untuk keluar dari dunia.” Abdullah ibnul Mubarak menjawab, “Engkau memberiku waktu yang lama, aku hidup sampai setahun penuh! Padahal aku selalu menyukai syair yang kudengar dari Abu Ali ats-Tsaqafy:
Wahai yang tercekam rindu karena perpisahan panjang
Bersabarlah, siapa tahu esok engkau bertemu SangKekasih.

Abu Utsman menuturkan, “Tanda rindu adalah mencintai kematian dengan hati yang ringan.”
Yahya bin Mu’adz menyatakan, “Tanda rindu adalah membebaskan tubuh dari hawa nafsu.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq menuturkan, “Pada suatu hari Daud as. pergi sendirian ke padang pasir, kemudian Allah Swt. menurunkan wahyu kepadanya, ‘Wahai Daud, Aku tidak memandangmu sebagai orang yang sendirian!’ Daud menjawab, ‘Tuhanku, aku terpengaruh oleh kerinduan dalam hatiku untuk bertemu dengan-Mu, lantas terhalang antara diriku untuk bergaul dengan sesama manusia.’

Maka Allah Swt berfirman: “Kembalilah kepada mereka. Sebab bila engkau mendatangi¬-Ku bersama seorang hamba yang lari dari tuannya, Aku tetapkan dirimu di Lauh Mahfudz sebagai seorang arif yang bijak’.”

Diceritakan, ada seorang wanita tua yang didatangi oleh pemuda yang termasuk kerabatnya. Keluarga lainnya merasa gembira, namun wanita itu justru menangis tersedu. Ia ditanya, ‘Apa yang engkau tangisi?” Wanita itu menjawab, “Aku teringat kedatangan pemuda itu, jika kelak di hari kedatangan kita kepada Allah Swt.”

Ketika Ahmad bin Atha’ ditanya tentang rindu, dia menjawab, “Jiwa yang terbakar, qalbu yang berkobar, dan jantung yang berkeping-keping.”
Pada kesempatan lain dia ditanya, “Manakah yang lebih utama, rindu ataukah cinta?” Ibnu Atha’ menjawab, “Cinta, karena rindu terlahir dari cinta.”

Agama Kau Jadikan Untuk Menumpuk Uang! Syeikh Abdul Qadir Al-Jilany

Rasulullah Saw. Bersabda:
“Jenguklah orang yang sakit, dan iringilah jenazah mereka, karena sesungguhnya hal demikian bisa mengingatkanmu akan akhirat.” (Hr. Ahmad)

Rasulullah Saw, bermaksud agar kalian mengingat akhirat, sementara menghindari mengingat akhirat, lebih cinta pada dunia. Padahal dalam waktu dekat segala apa yang anda miliki akan diambil oleh Allah tanpa ada yang bisa menghalangi. Padahal anda sedang bersenang-senang dengan dunia, hingga yang muncul adalah rasa sakit hati sebagai ganti dari riang gembiramu.

Hai orang yang alpa, yang sedang berpuas-puas dengan dunia, anda diciptakan bukan untuk dunia. Anda diciptakan untuk akhirat.
Hai orang alpa, apa yang seharusnya anda lakukan dari Allah itu? Sedangkan hasratmu hanya demi menuruti syahwat dan kenikmatan-kenikmatan. Agama kau jadikan untuk menumpuk dinar. Engkau sibuk dengan permainan-permainan, padahal sudah di ingatkan akan kehidupan akhirat dan kematian. Namun anda mengatakan , “Aku masih susah hidupku dan masih berutang sekian dan sekian.” Padahal peringatan maut telah datang melalui ubanmu, sementara anda mencukur atau menyemir dengan warna hitam, ketika ajalmu tiba, mana amalmu?

Ketika Malaikat maut tiba dengan perangkatnya, dengan cara apa anda menolaknya? Jika rezeki-mu sudah habis dan usiamu sudah selesai, dengan cara bagaimana anda merekayasa?
Tinggalkan dirimu dari kerumitan ini. Dunia dibangun untuk kepentingan amal perbuatan baik, jika anda beramal akan ada pahala. Jika tidak apa yang akan diberikan padamu? Dunia adalah negeri amal dan negeri kesabaran atas bencana. Dunia negeri kepayahan dan akhirat negeri santai. Orang beriman itu menyibukkan dirinya, jelas akan ada istirahatnya. Sedangkan anda tergesa-gesa untuk santai, tetapi menunda-nuda taubat, berlarut-larut hari demi hari, bulan demi bulan, tahun demi tahun, hingga selesai ajalmu. Dalam sekejap jadi penyesalan.

Bagaimana anda menerima nasehat, bagaimana anda sadar dan benar, sedang anda tak pernah membenarkan? Hati-hati, atap rumah kehidupanmu telah terbelah. Hai orang yang tertipu, bengkak-bengkak tubuhmu kehidupanmu telah tiba. Negeri ini, dimana anda telah roboh, mestinya anda beralih ke akhirat. Carilah negeri akhirat dan langkahkan kakimu ke sana. Langkah apakah itu? Langkah amal yang saleh. Langkahkah apa yang anda punya menuju akhirat hingga bertemu denganNya.

Hai orang yang terpedaya dunia, hai orang yang terus berburu tanpa mendapatkan sesuatu. Hai orang yang meninggalkan pasukan, malah sibuk dengan pembantu-pembantu dunia. Hati-hati, akhirat itu tidak mau berpadu dengan dunia, karena akhirat tidak ingin menjadi pembantu dunia.

Keluarkanlah dunia dari hatimu, engkau akan melihat akhirat, bagaimana akhirat datang dan menguasai hatimu. Jika sudah sempurna maka dengarkan panggilan taqarrub dari Allah Azza-wa-Jalla, maka pada saat itulah lepaskan akhirat dan carilah Allah Swt. Disanalah kemudian qalbu menjadi benar dan rahasia qalbu menjadi bening.
Jika hatimu benar, maka Allah menyaksikannya, begitu juga para malaikat dan mereka yang diberi ilmu oleh Allah, yang menyaksikan kebenaran hati anda. Jika sudah demikian anda menjadi kokoh seperti bukit tak akan runtuh oleh badai, tidak pernah sirna karena gempuran dan di dalam hatimu tidak lagi terpengaruh oleh pandangan makhluk, tidak terpengaruh oleh pergaulan. Tidak ada haru biru di hatimu juga tidak ada kotoran yang merusak kebeningan rahasia jiwamu.
Hai kaumku, awas! Siapa yang beramal demi dipandang dan diterima makhluk maka dia adalah hamba yang minggat dan sekaligus musuh Allah Azza wa-Jalla. Ia telah mengkafiriNya dan telah terhijab dari nikmat, terkena dendam dan laknatNya.

Makhluk telah merampas hati, kebajikan, agama dan membuat diri kalian jadi musyrik, melupakan Tuhanmu Azza wa-Jalla. Mereka menginginkan kamu bukan membahagiakanmu. Sedangkan Allah menginginkan kamu untuk kebahagiaan dan keselamatanmu, bukan untuk mereka.

Carilah yang menghendakimu dan sibuklah bersamaNya. Karena sibuk bersamaNya itu lebih utama dibanding sibuk dengan yang menghendakimu untuk dirinya. Kalau toh anda harus mencari, maka carilah dari Allah, bukan dari makhlukNya.

Sebab yang paling dibenci Allah manakala hambaNya mencari dunia dari makhlukNya. Minta tolonglah kepada Allah, karena Allah itu Maha Kaya, sedangkan semua makhluk itu miskin dan fakir. Bahkan para makhluk itu tidak memiliki kekuasaan dan kemampuan terhadap dirinya sendiri, apalagi terhadap makhluk lain, baik suka maupun dukanya.